Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sanksi Ekonomi terhadap Rusia, Tak akan Berdampak Apa Pun bagi Putin

10 Maret 2022   14:17 Diperbarui: 11 Maret 2022   03:15 1417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara dalam pertemuan dengan para pejabat tinggi Kementerian Pertahanan dan para kepala industri pertahanan di Bocharov Ruchei, resor Laut Hitam di Sochi, Rusia, Rabu (3/11/2021). (SPUTNIK KREMLIN/MIKHAIL METZEL via AP via kompas.com)

Deretan sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, dan para sekutunya kepada Rusia untuk merespon serangan yang dilakukannya terhadap Ukraina dianggap cukup efektif.

Aliansi Barat yang dimotori Amerika Serikat memutus sistem transaksi pembayaran global SWIFT  dengan Rusia.

Di tambah kemudian dengan dua perusahaan layanan pembayaran Visa dan Mastercard pun memutuskan menghentikan operasinya di Rusia.

"Perang ekonomi" berlanjut pada sektor energi, salah satu sumber pendapatan Rusia. Amerika Serikat dan Negara-Negara Barat bersepakat untuk mengurangi impor energi secara signifikan dari Rusia.

Berbagai Sanksi ekonomi Barat ini memang telah membuat Rusia menghadapi krisis keuangan hebat. 

Nilai mata uang mereka, Rubel terjun bebas pada kisaran 30 sampai dengan 40 persen, terendah sepanjang sejarah modern terhadap Dollar AS.

Imbasnya, rush atau penarikan uang besar-besaran oleh masyarakat terjadi di Rusia.  Warga Rusia yang mengantre di ATM seperti dilansir sejumlah media internasional mengular cukup panjang.

Selain itu, aliran investasi ke Rusia terutama dari Barat terhenti seketika, bahkan perusahaan-perusahaan Barat yang existing seperti Nike, Starbuck, Mc Donald , Iphone dan banyak lagi yang lainnya memutuskan hengkang dari Rusia.

Otomatis hal ini akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Rusia. Penggangguran akan naik tajam, sementara harga bahan kebutuhan pokok merambat naik.

Inflasi diproyeksikan akan melonjak, sementara pertumbuhan ekonomi hampir dapat dipastikan melambat.

Kondisi stagflasi yang menyeret ekonomi Rusia ke dalam jurang resesi ekonomi sudah di depan mata.

Namun bukan hanya Rusia yang akan merasakan dampak dari sanksi ekonomi Sekutu Barat sebagai tanggapan atas perang Rusia dan Ukraina ini.

Secara global banyak negara akan merasakan kerugian karenanya, terutama di sektor energi dan pangan.

Lantaran pasokan tidak stabil, harga minyak dan gas dunia akan naik.

Dilansir CNBCIndonesia.com, Senin pagi (07/03/22), harga minyak mentah dunia jenis Brent hampir menyentuh level US$ 140 per barel atau US$ 139,13 per barel.

Sementara harga gas melalui harga Contract Price Aramco (CPA) mencapai US$ 775 per metrik ton.

Padahal kita tahu sepertiga pasokan gas Eropa , dan seperempat pasokan minyaknya berasal dari Rusia.

Pun demikian dengan harga pangan, krisis akibat perang dan sanksi ekonomi ini menimbulkan kekhawatiran akan kelancaran pasokannya.

Mengingat 30 persen pasokan kebutuhan gandum dan  20 persen Jagung dunia berasal dari Rusia dan Ukraina. 

Akibatnya harganya melonjak tajam, di Bursa Komoditas Chicago pada perdagangan Senin (07/03/22) kemarin menyentuh angka teetinggi dalam 13 tahun terakhir.

Berkaca pada kondisi ini, sejumlah ekonom dunia memproyeksikan inflasi global akan terjadi. Lantaran didorong oleh naiknya harga energi dan pangan.

Dengan demikian, perang dan sanksi ekonomi yang terjadi akan berdampak negatif secara signifikan terhadap pemulihan ekonomi global yang terhantam pandemi Covid-19.

Pertanyaannya kemudian, meskipun sanksi ekonomi terhadap Rusia dianggap efektif, apakah mampu menghentikan Vladimir Putin untuk tak berperang lagi atau membuat Putin secara politik terguncang oleh tekanan dari dalam negeri?

Menurut Tom Kepinsky, Profesor Ekonomi dan Kebijakan Publik Cornell University US, dalam tulisan di blog miliknya Tomkepinsky.com.

Ia ragu sanksi ekonomi ini mampu secara efektif mengubah pendirian Putin dalam hal menyerang Ukraina, apalagi meruntuhkan rezim Putin di Rusia.

Yang menarik Tom menyitir bukunya yang disusun berdasarkan penelitiannya di Indonesia dan Malaysia  saat krisis 1998 lalu yang berjudul  "Economic Crisis and The  Breakdown of Authoritarian Regimes".

Untuk memahami bagaimana dan kapan krisis ekonomi bakal mampu menjungkalkan sebuah pemerintah otoriter, kita harus memahami cara pemerintah otoriter tersebut dalam menghadapi krisis ekonomi.

Dalam pandangan Tom, pemerintahan Putin di Rusia dikategorikan sebagai rezim otoriter. Terlepas dari pandangannya terhadap Putin.

Tom meyakini sedalam apapun krisis ekonomi yang terjadi di Rusia akibat Sanksi Ekonomi Barat dan Sekutunya, secara politik Vladimir Putin tak akan tergoyahkan.

Putin memiliki kebijakan tersendiri untuk berselancar dalam kondisi ini. 

Menurutnya Indonesia di bawah Soeharto mirip dengan Rusia di bawah Putin. Kroni-kroni super kayanya tergantung pada favoritisme penguasa politiknya dan semua keputusan politik tersentralisasi di satu orang.

Namun bedanya, saat krisis moneter 1998 terjadi, para kroni atau oligarki yang mengelilingi Soeharto saat itu memgisyaratkan bahwa mereka mendukung bukan tanpa syarat.

Ia menginginkan Soeharto mengeluarkan kebijakan yang membolehkan  memindahkan aset milik mereka keluar negeri, dan kebijakan itu diberikan Soeharto saat itu, akibatnya Soeharto seperti ditinggal dan akhirnya kita tahu sendiri, Soeharto tumbang.

Sedangkan Putin, sejak awal perang di mulai melarang semua oligarki superkaya yang mengililinginya untuk melakukan penarikan uang asing hingga September 2022 ini.

Alhasil, sebelum sanksi dijatuhkan Bara,  Oligarki Putin tak bisa lagi membelanjakan uangnya di Luar Negeri meskipun sebenarnya mereka mau.

Ini artinya Oligarki terjebak bersama Putin, dan mau tidak mau harus mendukungnya. Melarikan diri keluar negeri tak mungkin, dan perubahan politik di dalam negeri malah akan menjadi bencana  bagi mereka karena sangat mungkin pemerintahan yang baru bakal menyikat habis harta mereka.

Jadi, para Oligarki bakal mendukung Putin separah apapun krisis ekonomi yang terjadi di Rusia 

Asumsi ini berdasarkan fakta yang  salah satu tandanya adalah saat Putin menerapkan kebijakan pengontrolan aser mereka, hingga saat ini para Oligarki itu tak melakukan protes apapun

Hal ini menunjukan ketergantung Oligarki terhadap Vladimir Putin nyata adanya. Mereka sebenarnya bisa saja menghentikan kebijakan Putin ini, tapi tak mereka lakukan.

Kepatuhab dan dukungan dari Oligarki inilah yang mendasari pemikiran bahwa Putin akan mampu bertahan separah apapun krisis ekonomi di Rusia terjadi.

Apakah dengan demkian Putin akan selamat dari tantangan politik di dalam negeri akibat ekonomi Rusia ambruk karena sanksi?

Sebenarnya tidak, tantangan dari elite politik dan demonstrasi  warga sangat mungkin terjadi karena ambruknya ekonomi.

Namun, karena  pada dasarnya Putin itu adalah seorang diktator ia tak perlu repot-repot menanggapinya.

Rezimnya mampu kok menahan lebih banyak kesulitan ekonomi. Kebanyakan diktator mampu bertahan dari krisis ekonomi bahkan yang sangat parah sekalipun.

So, intinya sanksi ekonomi Barat dan Sekutunya separah pun dampaknya bagi Rusia tak akan sanggup  menghentikan peperangan Putin di Ukraina apalagi melengserkannya dari jabatan sebagai Presiden Rusia.

Jadi buat apa sanksi ekonomi dijatuhkan pada Rusia, entahlah....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun