Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

BPJS Ketenagakerjaan Harus Lebih Komunikatif dan Transparan Untuk Menyikapi Polemik JHT

17 Februari 2022   14:33 Diperbarui: 17 Februari 2022   14:48 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gonjang-ganjing urusan Jaminan Hari Tua terus bergulir. Beberapa organisasi buruh Rabu (16/02/21) kemarin melakukan unjuk rasa di Kementerian Tenaga Kerja, menuntut dicabutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenker) nomor 2 tahun 2022 dasar hukum JHT baru bisa dicairkan pada saat usia peserta 56 tahun.

Bahkan saking masygulnya, para pengunjuk rasa meminta kepada Presiden Jokowi untuk mencopot Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah.

Well, sebenarnya kebijakan baru tapi lama Menaker yang mengundang amarah para pekerja ini, sudah bagus dan dalam prespektif pengelolaan keuangan sudah benar.

Namun sayang, jika diamati konstelasinya di dunia maya, penolakan masyarakat pekerja pada aturan baru JHT itu  ada unsur ketidakpahaman dan ketidakpercayaan.

Keridakpahaman terhadap fungsi JHT yang diimbuhi oleh inkonsistensi aturan yang dirilis pemerintah, karena dalam aturan sebelumnya Permenker nomor 19 tahun 2015,  JHT boleh dicairkan kapan saja, sepanjang pekerja dalam posisi tidak bekerja selama minimal satu bulan.

Masalah ketidakpercayaan, masyarakat tak percaya pada pemerintah dan pengelola dana JHT yaitu BPJS Ketenagakerjaan.

Oke mari kita telisik secara sederhana, bagaimana BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana iuran milik para pekerja di seluruh wilayah Indonesia.

Pertama, saya menduga ketidakpercayaan pekerja pada pengelolaan uang milik mereka lantaran ada kasus dugaan korupsi yang membelit BPJS Ketenagakerjaan yang hingga kini masih belum jelas duduk perkaranya.

Seperti kita tahu, Kejaksaan Agung tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi di lembaga eks PT. Jamsostek pada akhir 2020 lalu.

Para penyelidik Kejagung, saat itu menyelidiki nilai investasi BPJS Ketengakerjaan sebesar Rp. 43 triliun yang ditempatkan di saham dan reksadana.

Nilai investasi itu disebut-sebut menjadi potensi kerugian uang negara. Bagaimana bisa uang yang dikelola semakin besar, tetapi nilai hasil investasinya terus turun.

Menelisik laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan, terjadi penurunan secara konsisten tingkat pengembalian investasi  atau Yield on Investment (YOI) selama 12 tahun terakhir.

Pada tahun 2010 silam, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp. 99,8 triliun dengan YOI msncapai 12 persen sehingga menghasilkan nilai imbal hasil sebesar Rp. 10,79 triliun.

Lalu tahun 2011, dana kelolaan naik menjadi Rp. 111,78 triliun dan memang diikuti dengan naiknya imbal hasil investasinya menjadi Rp. 11,58 triliun, tetapi YOI-nya turun menjadi 11,57 persen.

Pada 2012, dana investasi kembali meningkat menjadi Rp132,83 triliun dan hasil investasi sebesar Rp12,92 triliun. Namun, YOI semakin ciut menjadi 10,83 persen.

BPJS Ketenagakerjaan masih terus mencatatkan YOI dua digit hingga 2014 lalu. Kemudian, YOI pada 2015 turun menjadi satu digit, yakni 8,94 persen.

Selanjutnya, dana investasi dan hasil investasi terus meningkat sejak 2018 hingga 2020. Namun, tak diiringi dengan peningkatan YOI.

Tercatat, dana kelolaan pada 2018 sebesar Rp364,88 triliun dengan hasil investasi sebesar Rp27,27 triliun. Sementara, YOI hanya 8,15 persen.

Lalu, dana investasi pada 2019 naik menjadi Rp431,98 triliun dan hasil investasi juga meningkat menjadi Rp29,15 triliun. Namun, YOI anjlok ke 6,75 persen.

Pada tahun 2020, YOI sempet naik menjadi 7,38 persen tetapi belum sampai ke dua digir seperti 6 tahun sebelum

Padahal dana kelolaannya naik mencapai Rp. 486,36 triliun dan imbal hasilnya pun naik menjadi Rp. 32,3 triliun.

Meskipun demikian penurunan YOI di BPJS Ketenagakerjaan ini bukan otomatis menunjukan adanya dugaan laku lancung korupsi.

Jadi yang menjadi dugaan Kejagung dalam kasus dugaan korupsi di  BPJS Ketenagakerjaan ini adalah potensi kerugian yang belum terealisasikan atau unrealized loss.

Apalagi kalau menilik portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan berisi saham-saham yang likuid yang tergabung dalam LQ45.

Dimana unrealized loss-nya mengikuti naik turunnya saham sesuai pasar dan hal itu biasa saja serta masih dianggap inline dengan aturan investasi yang ditetapkan bagi BPJS Ketenagakerjaan.

Dugaan potensi kerugian negara yang mencapai Rp. 43 triliun itu menurut manajemen BPJS Ketengakerjaan lantaran harga saham sepanjang Agustus - September 2020 memang lagi babak belur IHSG aja anjlok hingga menyentuh angka 3.900an.

Untuk kasus dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan ini menurut Kejagung akan dituntaskan pada awal tahun 2022 ini.

"BPJS itu mau dituntaskan sekalian, kita sedang menunggu kajian tim dari sini dan BPK," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada Kejagung, Ali Mukarto.

Sementara khusus untuk pengelolaan dana JHT, pihak BPJS Ketenagakerjaan memastikan keamanan dan likuiditasnya

Melansir sejumlah media daring, YOI atau imbal hasil dari dana investasi  JHT untuk tahun 2021 mencapai Rp. 24 triliun. Dari pengelolaan dana program JHT yang sebesar 375,5 triliun.

Dan sebagian besar dana tersebut diinvestasikan pada instrumen keuangan yang sangat ama yakni surat berharga negara (SBN).

Rinciannya, 65 persen dana JHT diinvestasikan pada instrumen keuangan obligasi dan surat berharga yang di mana 92 persen diantaranya merupakan surat utang negara.

Kemudian, 15 persen diantaranya  ditempatkan dalam bentuk deposito yang 97 persen diantaranya disimpan di bank-bank BUMN.

Selanjutnya, 12,5 persen diinvestasikan di saham-saham  yang termasuk dalam LQ 45, 7,5 persen ditaruh di reksadana saham yang juga berisi saham saham bluechip.

Dan 0,5 persen sisanya ditempatkan pada properti dengan skema penyertaan langsung.

Jika menilik komposisi investasinya seharusnya tak ada yang perlu dirisaukan, semua sesuai aturan yang telah ditetapkan.

Persoalannya, kabar baik ini tak tersampaikan secar baik kepada para pekerja atau pemilik uang. Mungkin BPJS Ketenagakerjaan bisa mengkomunikasikan pengelolaan dana investasinya secara transparan kepada para pekerja secara berkala, agar kepercayaan mereka tak terdistorsi oleh isu-isu tak benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun