Jadi yang menjadi dugaan Kejagung dalam kasus dugaan korupsi di  BPJS Ketenagakerjaan ini adalah potensi kerugian yang belum terealisasikan atau unrealized loss.
Apalagi kalau menilik portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan berisi saham-saham yang likuid yang tergabung dalam LQ45.
Dimana unrealized loss-nya mengikuti naik turunnya saham sesuai pasar dan hal itu biasa saja serta masih dianggap inline dengan aturan investasi yang ditetapkan bagi BPJS Ketenagakerjaan.
Dugaan potensi kerugian negara yang mencapai Rp. 43 triliun itu menurut manajemen BPJS Ketengakerjaan lantaran harga saham sepanjang Agustus - September 2020 memang lagi babak belur IHSG aja anjlok hingga menyentuh angka 3.900an.
Untuk kasus dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan ini menurut Kejagung akan dituntaskan pada awal tahun 2022 ini.
"BPJS itu mau dituntaskan sekalian, kita sedang menunggu kajian tim dari sini dan BPK," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada Kejagung, Ali Mukarto.
Sementara khusus untuk pengelolaan dana JHT, pihak BPJS Ketenagakerjaan memastikan keamanan dan likuiditasnya
Melansir sejumlah media daring, YOI atau imbal hasil dari dana investasi  JHT untuk tahun 2021 mencapai Rp. 24 triliun. Dari pengelolaan dana program JHT yang sebesar 375,5 triliun.
Dan sebagian besar dana tersebut diinvestasikan pada instrumen keuangan yang sangat ama yakni surat berharga negara (SBN).
Rinciannya, 65 persen dana JHT diinvestasikan pada instrumen keuangan obligasi dan surat berharga yang di mana 92 persen diantaranya merupakan surat utang negara.
Kemudian, 15 persen diantaranya  ditempatkan dalam bentuk deposito yang 97 persen diantaranya disimpan di bank-bank BUMN.