Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Digiseksual Bukan Identitas atau Orientasi Seksual Baru

10 Februari 2022   12:05 Diperbarui: 10 Februari 2022   12:13 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia digital yang terus berkembang sangat cepat dan masif, mendisrupsi setiap sendi kehidupan. Termasuk di dalamnya terkait hubungan seks.

Selama ini kita hanya mengenal dua orientasi dalam berhubungan seksual, heteroseksual atau antar jenis kelamin pria dan perempuan serta homoseksual antar satu jenis kelamin.

Terlepas dari segala kontroversinya, faktanya homoseksual memang eksis terutama di negara-negara barat.

Meski keberadaan homoseksualitas sudah diakui oleh sebagian masyarakat dunia, tapi kontroversinya masih belum dianggap selesai dengan sejumlah alasan terutama jika dikaitkan dengan agama dan budaya.

Belum selesai itu, kini muncul lagi  yang diklaim oleh sejumlah pihak sebagai orientasi seksual baru yang konon katanya dipicu oleh perkembangan dunia teknologi digital.

Orientasi seksual baru yang kini mulai berkembang di tengah masyarakat modern itu disebut Digiseksual.

Meskipun sebenarnya in my very humble opinion jika melihat dan mengamati perkembangan dan bagaimana aksi digiseksual dilakukan, rasanya belum bisa diklasifikasikan sebagai orientasi seksual baru.

Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, secara sempit sebuah kegiatan seksual bisa diklasifikasikan ke dalam Digiseksual  ketika seseorang lebih memilih memediasi hasrat seksualnya melalui teknologi.

Mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan seksualnya melalui perangkat teknologi seperti konten virtual reality, teledilldonik, atau menggunakan "teman" berbasis artficial intelegent semacam sexbots, tetapi juga berhibungan seks secara langsung dengan obyek berbasis teknologi, atau biasa disebut robot seks.

Namun harus disadari, semua hal itu hanya merupakan hubungan sebatas fisik untuk memenuhi hasrat seksual seseorang dalam menuntaskan libidonya hingga mencapai klimaks, ejakulasi, atau orgasme.

Sementara orientasi seksual lebih dari itu, hasrat seksual itu harus bekelindan dengan "rasa" bukan hanya tentang hasrat, nafsu, dan libido, setelah ejakulasi atau orgasme lalu selesai.

Saya sih lebih cenderung menganggap digiseksual ini sebagai alat bantu bagi seseorang untuk menuntaskan hasrat seksualnya mana kala dia tak memiliki pasangan atau saat mencari variasi lain ketika ada rasa "bosan" dengan pasangannya.

Apakah kemudian digiseksual bisa menggantikan secara permanen hubungan seks antar manusia, sehingga layak disetarakan dengan orientasi seksual seperti heteroseksual atau homoseksual, saya rasa sih tidak.

Ada banyak hal lain beyond hubungan seks.  Jika dilakukan antar manusia,sensasi dan ambience-nya jauh berbeda. Kalau sebatas crot atau uh..oh sih mungkin sama.

Apalagi jika kita mengetahui, bahwa robot seks yang diklasifikasikan sebagai teknologi seks gelombang kedua belum benar-benar ada, walaupun ada hanya segelintir saja dan itu pun lebih banyak dibahas di jurnal-jurnal science atau media dan menjadi gimmick dalam sebuah film

Menurut livescience.com, memang ada beberapa perusahaan teknologi yang mengembangkannya, seperti Real Doll misalnya.

Mereka kini terus melakukan riset dan pengembangan robot seks yang lebih realistik, tetapi ada beberapa kendala teknis yang belum dapat mereka atasi.

Kecerdasan buatan atau artificial intelegent yang benar-benar responsif dan bisa berinteraksi secara wajar, perkembangannya masih sangat lambat.

Padahal hal itu menjadi salah satu intrumen paling penting dalam menciptakan robot seks yang mendekati naturalitas manusia saat berhubungan seks.

Sementara, teknologi virtual reality (VR) yang merupakan cikal bakal dunia metaverse  yang interaktif dan responsif terus mengalami perkembangan yang pesat.

Di industri seks dunia VR sudah banyak diaplikasikan, hal tersebut telah melampaui tayangan pasif pornografi konvensional seperti yang banyak dikenal sebelumnya.

Gambaran dunia virtual yang spektakuler dan multi pengguna yang seringkali dipadukan dengan perangkat yang memberi sensasi sentuhan telah mulai diciptakan.

Hal tersebut menawarkan sensasi pengalaman seksual lebihl intens bagi penggunanya yang mumgkin tidak pernah bisa dilakukan di dunia nyata.

Namun demikian, menurut peneliti VR Sylvia Xueni Pan seperti dilansir The Conversation, pengalaman mendalam yang didapat dari dunia VR ini sebagai menempatkan ilusi yang nyata di dalam otak manusia.

Jadi, tetap saja penggunaan VR dalam menggambarkan hubungan seks hanya sebagai stimulan yang memanipulasi otak manusia seolah-olah tengah berhubungan seks dengan segala fantasinya secara intens.

Bukan benar-benar berhubungan seks secara nyata. Walaupun mungkin dalam perkembangan teknologi lebih lanjut pengalaman seksual seseorang dengan menggunakan teknologi akan sama memuaskannya dengan pasangan manusia.

Apakah dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin luasnya orang yang memilih menggunakan teknologi dalam berhubungan seks dengan pasangan yang sepenuhnya artificial dan berada di lingkungan virtual akan membuat digiseksual menjadi sebuah identitas seksual baru yang mengarah pada oriemtasi seksual baru?

Merujuk pada berbagai sumber sih, rasanya tidak akan ada teknologi yang bisa menggantikan sensasi dan ambience hubungan seks antar manusia.

Apalagi untuk menyematkan predikat digiseksual pada seseorang, ia harus melihat teknologi menyeluruh seperti robot seks dan pornografi VR sebagai satu-satunya pengalaman  seksual mereka dan tak merasa perlu lagi mencari hubungan seks dengan sesama manusia.

Makanya tak heran kemudian gembar-gembor identitas dan orientasi digiseksual yang ramai di dunia barat mendapatkan reaksi negatif dari banyak orang baik dari kalangan media bahkan para pengamat teknologi digital itu sendiri.

Kendati demikian bukan berarti kita harus mencibir atau melakukan bullying jika ada seseorang yang ingin dianggap memiliki identitas digiseksual, ya silahkan saja.

Toh urusan seksual kan ranah privat, sepanjang tidak merugikan individu lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun