Menyaksikan tayangan video dari berbagai sumber di media sosial dan cuplikan berita di stasiun televisi betapa represif nya sikap aparat Kepolisian sampai mengepung hanpir seluruh desa, dalam kasus sengketa agraria di Desa Wadas Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.
Memori dalam benak saya melayang ke masa Orde Baru yang aparatnya bisa begitu represif ketika rakyat tak sejalan dengan kemauan penguasa.
Atau lebih jauh lagi  mungkin agak mirip dengan cerita-cerita sejarah saat VOC berkuasa di Hindia Belanda dan menginginkan lahan milik rakyat untuk kepentingan mereka.
Pangkal masalah dari semua peristiwa di Desa Wadas ini adalah pembangunan infrastruktur Bendungan Bener yang terletak kurang lebih 10,5 km sebelah barat Desa Wadas.
Untuk kebutuhan material proyek pembangunan yang masuk klasifikasi Proyek Strategis Nasional ini, pemerintah bermaksud menambang batu andesit yang ada di perut Bukit Wadas, yang selama puluhan atau mungkin ratusan tahun menjadi sumber penghidupan warga Desa Wadas.
Jika penambangan batuan andesit itu dilakukan maka lahan hidup mereka akan hilang, makanya kemudian ketika pemerintah berniat mengambil alih dengan cara  mengganti untung tanah yang mereka miliki, mayoritas warga Wadas menolak.
Sebenarnya konflik-konflik agraria yang melibatkan rakyat dan pemerintah seperti yang terjadi di Desa Wadas bukan barang baru, terjadi hampir di setiap era pemerintahan siapapun dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintah membutuhkan bidang lahan dengan alasan membangun infrastruktur bagi kepentingan manfaat  bagi masyarakat yang lebih luas, sementara rakyat bertahan tak memberikan lahan yang dibutuhkan pemerintah lantaran dari lahan itu lah mereka "berkehidupan."
Ini masalah klasik yang dulu, kini, dan nanti akan terus terjadi. Cara menyelesaikan permasalahan ini secara smooth dengan geseken minimal menjadi ujian bagi pemimpin di wilayah yang terkena proyek pembangunan tersebut.
Terlepas dari apapun yang mengimbuhinya, menyelesaikan sebuah konflik pertanahan dengan cara represif seperti yang terjadi di Desa Wadas adalah seburuk-buruknya penyelesaian.
Sebesar apapun manfaat dari proyek infrastruktur tersebut, jika penyelesaian masalah konflik yang mengiringinya menggunakan pola-pola represif, manfaatnya jadi hilang.
Berdalih untuk kepentingan rakyat, tapi mengintimidasi dan menekan rakyat lainnya, kan aneh.
Apalagi di jaman media sosial seperti saat ini, agak sulit untuk menyembunyikan konflik antara rakyat dan pemerintah seperti yang terjadi di Desa Wadas.
Efeknya akan melebar kemana-mana, digoreng sesuai dengan kepentingan banyak pihak terutama ke arah politik elektabilitas.
Jika mengamati perbincangan di media sosial, politisasi konfilk Desa Wadas ini sudah terjadi.
Jadi sebaiknya selesaikanlah dengan cara-cara persuasif, dialog... dialog dan dialog hingga menemukan titik temu yang me guntungkan kedua belah pihak.
Ganti untung dengan angka penawaran di atas harga pasaran hingga titik tertentu mungkin bisa menyelesaikan masalah, tapi harus diingat tak semua warga memiliki kapabilitas yang cukup untuk mengelola uang tersebut.
Dalam konteks Warga Wadas yang mayoritas petani multikultur ini, tanpa lahan tersebut kehidupan mereka menjadi tak menentu.
Diberikan pelatihan kewirausahaan pun misalnya, yang menjadi pengiring pemberian ganti untung agar mereka bisa meneruskan kehidupannya  belum tentu mereka bisa.
Nature mereka adalah petani, sepanjang hidupnya ya bertani itu. Andaipun mau di swicth membutuhkan waktu yang panjang.
Mungkin solusi lain bisa diberikan dengan tukat guling tanah mereka dengan tanah lain yang memiliki ragam tanaman serupa dengan Bukit Wadas.
Atau cari lokasi penambangan batu andesit lain yang permasalahannya tak terlalu kompleks, atau beli saja dari penambang batu andesit yang telah existing.
Mungkin ongkosnya akan lebih mahal, tapi mungkin sama saja jika dihitung dengan biaya konflik yang terjadi selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H