Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Resign Masal 1.400 Karyawan Bank KB Bukopin

25 Januari 2022   11:58 Diperbarui: 25 Januari 2022   16:56 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekali lagi Bank Bukopin yang kini bernama Bank KB Bukopin Tbk ramai menjadi bahan perbincangan di sejumlah media, kali ini terkait kabar resign massal 1.400 karyawannya.

Per akhir Desember 2021 30 persenan  dari total karyawan KB Bukopin mengundurkan diri, hal ini terhitung pasca bank tersebut dimiliki raksasa keuangan Korea Selatan, Kookmin Bank.

Menurut Corporate Communication KB Bukopin Tyas Hardi, seperti dilansir Bisnis.com, pengunduran diri ini berkaitan dengan transformasi bisnis bank yang didirikan pada tahun 1970 ini.

Usai diambil alih Kookmin Bank, visi transformasi core banking  Bukopin berubah, salah satunya adalah melakukan transformasi teknologi menjadi New Generation Banking System (NGBS).

Nah, program transformasi perusahaan tersebut kemudian turut menyasar human capital atau sumber daya manusia perseroan.

Transformasi ini bertujuan untuk membawa Bukopin menjadi lebih sehat dan lebih baik. Masih menurut Tyas, pengunduran diri karyawan Bukopin ini bersifat sukarela, tak ada paksaan apapun.

"Programnya tidak dibatasi masa kerja, tidak dibatasi usia, siapapun selama dia karyawan Bukopin boleh mengikuti program ini," katanya, Minggu (23/01/22).

Karyawan Bukopin yang mengikuti program ini bakal mendapatkan sejumlah kompensasi tertentu atau biasa disebut Golden Shakehand yang berupa pesangon dalam jumlah melebihi aturan yang telah ditetapkan, kemudian ada benefit lain berupa asuransi kepada eks karyawan dan keluarganya hingga enam bulan ke depan.

Selain itu, Tyas pun menekankan bahwa Bukopin tak akan begitu saja melepas tanggungjawab terhadap nasib masa depan karyawan yang mengikuti program itu.

Mereka diberikan pelatihan keahlian manajerial dan up scale skill sesuai dengan keinginan karyawan apabila selepas dari Bukopin mereka akan beralih ke sektor lain.

Perubahan ekosistem bisnis perbankan ke arah digital memang tak terelakan lagi, sebenarnya tak hanya dunia perbankan yang terpapar perubahan ini. 

Seluruh bisnis dipaksa untuk melakukan transformasi agar match dengan teknologi digital yang merangsek mengakuisisi seluruh aspek kehidupan termasuk bisnis.

Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Profesor Rhenald Kasali ada sejumlah transformasi yang harus dihadapi para stakeholder yang bergerak di industri perbankan.

Pertama, teknologi digital bisa membuat nasabah menjadi lebih gesit, jasa yang ditawarkan menjadi lebih murah dan bisa melakukan transaksi tanpa harus tatap muka.

Kedua, mereka yang bergerak di sektor perbankan tiba-tiba memilikii rekan sekaligus kompetitor baru yaitu pemain yang berasal dari non-banking.

Sebelum memasuki era digital,  ketika kita melakukan analisis SWOT misalnya, yang dianggap sebagai rekan maupun kompetitor terbatas pada mereka yang bergerak di lingkungan perbankan saja.

Namun, saat ini muncul pemain-pemain di sektor non-bank seperti sektor telekomunikasi yang menjadi pendukung utama transformasi digital di perbankan.

Begitu juga ada mitra yang hingga tahap tertentu bisa disebut juga pesaing dari perusahaan perdagangan online atau e-commerce.

Marketplace seperti Shoppe misalnya akan bisa menjadi mesin transaksi baru untuk perputaran uang di perbankan, meskipun dalam saat bersamaan mereka bisa menjadi pesaing lantaran memiliki "media" pembayaran baru seperti Shoppe pay.

Perubahan ketiga yang harus diantisipasi industri perbankan, adalah gelombang besar kedatangan nasabah baru yang muncul dari wilayah  entah berantah, yang tadinya tak terpotret oleh industri perbankan.

Banyak nasabah yang tiba-tiba menjadi layak untuk memperoleh layanan perbankan, padahal sebelumnya industri perbankan tak memiliki data tentang mereka karena dianggap terlalu ke bawah dan sangat informal.

Perubahan keempat, adalah automasi. Hal ini membuat banyak sekali kantor cabang bank yang mulai sepi, karena nasabah lebih senang melakukan transaksinya lewat platform digital, efeknya mau tidak mau perusahaan perbankan harus mulai mengurangi dan merasionalisasi kantor cabang.

Kelima, ketika era digital mulai merambah bisnis perbankan, perputaran bisnisnya tak lagi mengenal batas waktu.

Memang karyawan mereka memiliki jam kerja tertentu, tetapi mesin bekerja terus selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa mengenal batas waktu.

Tak terbatas pada transksi, keluhan pelanggan misalnya, bisa dijawab dengan otomatisasi menggunakan chat bot yang berstandar kecerdasaan buatan atau artificial intelegent.

Pun demikian dengan analisis data yang lebih kompleks, yang merupakan perubahan keenam, dengan teknologi digital banyak data perbankan dalam mempertimbangkan bisnisnya menggunakan AI untuk memahami nasabahnnya.

Semua transformasi digital ini bukanlah perubahan kecil, transformasi ini sangat disruptif dan revolusioner dan semua itu harus mampu diadaptasi dengan perancanaan yang matang oleh mereka yang masih ingin tetap eksis di bisnis perbankan.

Dengan proyeksi bisnis seperti itu, transformasi bisnis perbankan seperti yang dilakukan oleh KB Bukopin dengan NGBS-nya menjadi sebuah keniscayaan, tak beradaptasi berarti bersiap untuk musnah.

Situasi ini tentu saja akan berdampak besar pada para pekerja di industri perbankan. Transformasi merupakan tuntutan perkembangan dunia dan beralihnya kebutuhan nasabah menuju digital banking.

Dengan arah perubahan menuju digital banking, tanpa perlu menjadi pandit saja, kita akan dapat membaca bahwa ke depan gelombang pemangkasan karyawan bank dalam jumlah lebih masif kemungkinan besar akan terjadi.

Jadi apa yang terjadi di KB Bukopin bukan sesuatu yang baru dan tak akan menjadi yang terakhir juga.

Pemangkasan kantor cabang pastinya akan berdampak secara serta merta terhadap pengurangan jumlah karyawan.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak tahun 2015 hingga Maret 2021 sebanyak 3.074 kantor cabang bank umum tutup.

Dari awalnya kantor cabang berjumlah 32.963, pada Maret 2021 tinggal 29.889 kantor cabang.

Kondisi ini linier dengan pertumbuhan kenaikan transaksi digital banking. Menurut data yang saya ambil dari Bank Indonesia, pada tahun 2017 transaksi bank digital sebesar Rp.1.708 triliun dan kemudian melompat sekitar Rp.1.000 triliun dalam kurun waktu 3 tahun saja menjadi Rp.2.775 triliun di tahun 2020.

Makanya tak heran, jika industri perbankan secara masif melakukan efesiensi, baik itu melalui rasionalisasi karyawan hingga mengurangi beban biaya sewa gedung agar terus bisa bersaing dengan perusahaan keuangan yang nature-nya sejak awal menggunakan sistem keuangan digital yang memang terkenal sangat efesien.

Jika beban biaya operasional perbankan tinggi yang berujung pada penawaran bunga kredit yang tak kompetitif serta mahalnya biaya fee yang dikenakan pada nasabah saat menggunakan produk perbankan di bank yang bersangkutan, maka bank tersebut akan ditinggal nasabahnya karena kalah saing dengan kompetitornya yang serba digital.

Lantas bagaimana masa depan nasib karyawan yang berkutat di Industri perbankan kalau situasi dan kondisi seperti itu?

Suka tidak suka, mereka harus melakukan re-skilling atau upgrade skill, mengasah kemampuan untuk mengisi jenis pekerjaan baru jika ingin tetap bertahan atau pindah ke sektor lain yang masih akan membutuhkan tenaga kerja tinggi.

Pekerjaan seperti teller bank dan customer service akan  terus tergerus lantaran akan dengan mudah tergantikan oleh teknologi digital.

Menurut sejumlah pakar ketenaga kerjaan, tren digitalisasi yang terjadi diberbagai sektor termasuk perbankan ini harus diantisipasi oleh semua pihak termasuk pemerintah.

Karena ke depan potensi ledakan pemutusan hubungan kerja karena tenaga dan skill mereka tergantikan oleh digitalisasi akan menjadi sebuah kepastian.

Pemerintah harus menyiapkan para pekerja dan calon pekerja untuk melakukan skilling atau pembekalan keterampilan untuk kelompok pekerja yang belum melek digital.

Atau menyediakan pelatihan upskilling untuk menaikan kompetensi pekerja di sektor yang sama agar dapat mengisi pekerjaan baru.

Dan terakhir, re-skilling untuk mengubah kompetensi atau skill pekerja agar bisa berpindah kerja ke sektor lain.

Untuk jangka waktu yang lebih panjang mungkin pemerintah butuh mengubah secara revolusioner sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah mulai dari tingkat menengah atas terutana sekolah kejuruan hingga universitas, agar memiliki SDM berkualitas tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun