Saya ribuan kali mengikuti rapat di berbagai kementerian dan lembaga negara, banyak juga nara sumber atau penanggapnya yang menggunakan bahasa asing atau bahasa "anak Jaksel" yang wacas wicis, tak masalah.
Saya pernah rapat di wilayah yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-harinya, mereka dalam menyampaikan paparannya dicampur-campur menggunakan bahasa Jawa juga, tak masalah.
Coba perhatikan Walikota Solo Gibran Rakabumingraka, saat menyampaikan statement pada media dan beberapa kali terdengar saat rapat resmi pun sebagian menggunakan bahasa Jawa.
Kenapa itu tak dipermasalahkan oleh yang terhormat nan Pancasialis, Arteria Dahlan, kenapa bahasa Sunda yang digugat bahkan ia meminta pejabat tersebut dipecat?
Saya pun yakin, Kajati Jawa Barat seperti yang di mention Arteria, tak seluruhnya menggunakan bahasa Sunda seperti yang diucapkan lengser pada upacara perkawinan adat Sunda. Apa salahnya.
Tak heran kemudian masyarakat Sunda meradang, karena agak sulit untuk mengelak bahwa ada nuansa rasis dan intoleran dalam ungkapan Arteria Dahlan itu.
Ridwal Kamil Gubenur Jawa Barat, wilayah dimana masyarakat Sunda berada harus bereaksi lewat cuitan di akun Twitter miliknya @Ridwankamil, menyayangkan ucapan Arteria yang terkesan intoleran.
"Searifnya Bang Arteria Dahlan meminta maaf kpd masyarakat #Sunda. Negeri ini sdh lelah dgn pertengkaran. Nusantara ini kaya krn perbedaan, termasuk bahasa. Jika tdk nyaman silakan sampaikan keberatan, namun minta pemecatan jabatan menurut saya itu berlebihan. Mari Jaga persatuan."
Begitu cuitannya, dan saya sepakat dengan kang Emil, enggak capekah kita harus bertengkar karena identitas.
Suku, agama, dan ras adalah bagian dari identitas seseorang, dan sudah dipastikan tak akan sama semuanya yang harus dihormati bukan terus menerus diungkit-ungkit.
Intoleransi itu bukan hanya urusan agama, melainkan juga dalam hal suku dan budaya.