Tetapi penempatan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN itu tak terhindarkan, terlepas dari apapun dasar dari kontroversi tersebut. Karena seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 33 tahun 2021 Pasal 7 ayat 2, menyebutkan bahwa jabatan Ketua Dewan Pengarah BRIN dijabat secara ex officio oleh Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Dan Megawati adalah Ketua Dewan Pengarah BPIP, jadi jabatan Dewan Pengarah BRIN tak ada sangkut pautnya dengan kapabilitas individu tersebut.
Andai pun mau digugat, gugatlah Perpres nomor 33 tahun 2021 tentang Pendirian BRIN tersebut.Â
Kendati demikian saya pun agak kurang paham kenapa dalam Perpres tersebut Kepala Dewan Pengarah BPIP menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN secara ex officio yang bersifat mandatory seperti itu.
Padahal secara kasat mata agak sulit menemukan benang merah keterkaitan secara langsung antar kedua lembaga tersebut, kecuali dikait-kaitkan, dan menurut saya logikanya tak masuk akal.
Mungkin karena Pancasila itu dasar negara Indonesia, jadi Ketua Dewan Pengarah BPIP bisa mengarahkan agar apapun upaya riset, invensi dan inovasi yang dilakukan oleh BRIN tak boleh keluar dari koridor Pancasila.
Kalau begitu, kenapa Ketua Dewan Pengarah BPIP secara Ex officio tidak menjadi Ketua Dewan Pengarah semua lembaga bentukan pemerintah yang menggunakan two tier system, agar tak keluar dari koridor semangat Pancasila.
Selain masalah pimpinan BRIN yang menjadi kontroversi, belakangan masalah teknis integrasi berbagai bagian riset milik pemerintah yang tersebar di setiap kementerian dan lembaga pemerintah menjadi masalah lain yang menjadi sumber kegaduhan baru.
Seperti dalam kasus yang mencuat 2 hari belakangan saat Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang telah beroperasi selama tiga dekade mulai dintegrasikan ke dalam BRIN dan berganti nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman.
Mengutip berbagai informasi dari sejumlah media daring nasional, akibat integrasi Lembaga Eijkman ke dalam BRIN ada sekitar 71 tenaga peneliti yang berstatus honorer harus diberhentikan.
Hal ini kemudian yang menjadi sumber kegaduhan baru, karena untuk menjadi peneliti itu tak mudah, apalagi di lembaga sekelas Eijkman yang sudah sohor kemana-mana.