Lantaran sopan, maka vonis Hakim terhadap selebgram penuh kontroversi Rachel Venya menjadi santuy.
Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang, hanya menjatuhkan vonis hukuman empat bulan penjara dengan delapan bulan percobaan dan denda Rp.50 juta, tanpa sehari pun mencicipi dinginnya ubin bui, mengusik rasa keadilan masyarakat.
Rachel kabur dari karantina, bukan untuk alasan yang bersifat urgent, seperti untuk menemui orang tuanya yang sedang sakit parah  misalnya.
Walaupun tetap salah mungkin publik bisa memahaminya, Rachel Venya kabur untuk kemudian terbang ke bali demi party with bestie.
Memang dalam pemeriksaan awal ia mengaku kabur karena kangen anaknya, that's just a bullshit.Â
Dalam persidangan Rachel alasanya beda lagi, ia mengaku kurang nyaman.Â
"Karena nggak nyaman. Sebelumnya saya sudah pernah karantina selama lima hari pulang dari Dubai," ujar Rachel usai ditanyai oleh Ketua Majelis Hakim, seperti dilansir Okezone.com.
Namanya karantina mana ada yang benar-benar nyaman, tapi itulah aturan demi kemasalahatan yang lebih besar maka harus tetap dijalankan, bukan pecicilan kabur dengan alasan ini itu.
Ndilalahnya, dalam persidangan tersebut Rachel juga mengakui bahwa ia bisa  hengkang dari karantina hasil menyuap petugas sebesar Rp.40 juta melalui salah satu staf ahli anggota DPR.
Bayangkan, Rachel Venya menggunakan anaknya sebagai dalih untuk melanggar aturan, setelah itu ia pun dengan sadar membahayakan hidup teman-temannya dan masyarakat luas, dengan terbang ke Bali dan berpesta.
Dosanya kemudian berlanjut, dengan menyuap petugas, kecuali "suap menyuap" sudah dianggap tak melanggar aturan lagi.
Dosanya saja sudah "combo" , tetapi karena Rachel Venya anak yang sopan, vonisnya pun jadi santuy, penjara lewat dan life happily ever after layaknya kisah-kisah H.C. Andersen.
Sontak saja vonis Majelis Hakim yang luar biasa terhormat ini mendapat cibiran dari seantero pengisi dunia maya di "universe" +62.
Salah satu netizen, kemudian membandingkan "kesopanan" Rachel Venya dengan  "kesopanan" seorang perempuan tua renta yang bersimpuh, bersujud dimuka majelis hakim memohon keringanan hukuman dalam kasus pencurian sepotong kayu oleh pihak Perhutani.
Kemudian ada pula netizen, Â yang berasumsi ada uang yang bermain dalam vonis terhadap Rachel Venya ini.
"Jika uang telah memihak keadilan dunia, kami akan tetap membawa kesaksian itu di hadapan Tuhan, Hakim yg Maha Kuasa," tulis Netizen itu.
Untuk hal ini, kita tak bisa juga menghakimi hakim, bisa saja itu terjadi meski sangat mungkin tidak demikian, tak boleh juga menuduh tanpa bukti.
Yang jelas hal yang meringankan versi majelis hakim itu dirasa janggal oleh publik, dan membuka ingatan pada vonis hakim terhadap eks Mensos Juliari Batubara dalam kasus korupsi dana bansos Covid-19.
Dalam vonis terhadap Juliari, salah satu yang meringankan hukumannya karena Juliari dianggap hakim sudah cukup menderita, dicaci, dimaki, dicerca, dan dihina oleh masyarakat meski vonis belum jatuh.
Pun demikian pada kasus suap Jaksa Pinangki, hukumannya di diskon hingga 60 persen dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara saja, hanya dengan alasan Pinangki masih memiliki anak balita, padahal diluar sana lebih banyak terdakwa perempuan yang memiliki anak balita hukumannya tak di diskon segitu banyak.
Itu hanya tiga contoh kasus dari sekian banyak bagian keputusan hakim yang dinilai publik janggal dalam memberikan pertimbangan yang meringankan pada vonis-vonis pengadilan di Indonesia.
Hakim sejatinya memiliki keleluasan untuk memutuskan apapun terhadap kasus yang menjadi tanggungjawabnya.
Meskipun  tentu saja dalam membuat sebuah vonis harus bersandar pada standar hukum yang telah ditetapkan.
Menurut sejumlah sumber referensi yang saya kumpulkan, Â dalam Pasal 197 ayat 1 huruf f KUHAP sudah diatur struktur putusan hakim yang memuat dasar meringankan dan memberatkan sebuah vonis.
Kendati demikian, hakim dalam memutuskan harus juga mengedapankan unsur rasionalitas dan objektivitas saat memberikan pertimbangan meringankan vonis terdakwa.
Meskipun memang, dalam konteks kasus Rachel Venya pertimbangan meringankan perilaku terdakwa di persidangan lantaran ia berlaku sopan santun dan tak berbelit-belit dalam memberikan keterangan lazim ditemukan dalam sebuah vonis.
Sebab hal demikian diputuskan berdasakan perasaan seorang hakim yang sangat subjektif dan tak bisa diintervensi.
Namun, tetap saja jangan sampai alasan pertimbangan meringankan perilaku terdakwa di ruang sidang itu dijadikan hal utama dalam memutuskan sebuah kasus.
Begitu pula vonis memberatkan atas dasar  tekanan publik, karena jika hal demikian terjadi berpotensi mencederai integritas hakim.
Yah, memang pertimbangan yang meringankan atau memberatkan hakim terhadap terdakwa dalam sebuah vonis dipersidangan tak memiliki dasar dan formula yang jelas dalam aturan perundang-undangan.
Semuanya diserahkan pada subjektivitas hakim dalam mengamati dan menilai perilaku terdakwa sepanjang sidang berjalan.
Jadi, sebenarnya tak ada yang salah juga dengan pertimbangan hukum dari hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Rachel Venya ini.
Walaupun, dirasa publik mencederai rasa keadilan dan hakim mungkin tak memperhitungkan dampak dari putusan tersebut akan membuat penegakan hukum dalam kasus-kasus pelanggaran karantina menjadi tak ajeg lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H