Meskipun  tentu saja dalam membuat sebuah vonis harus bersandar pada standar hukum yang telah ditetapkan.
Menurut sejumlah sumber referensi yang saya kumpulkan, Â dalam Pasal 197 ayat 1 huruf f KUHAP sudah diatur struktur putusan hakim yang memuat dasar meringankan dan memberatkan sebuah vonis.
Kendati demikian, hakim dalam memutuskan harus juga mengedapankan unsur rasionalitas dan objektivitas saat memberikan pertimbangan meringankan vonis terdakwa.
Meskipun memang, dalam konteks kasus Rachel Venya pertimbangan meringankan perilaku terdakwa di persidangan lantaran ia berlaku sopan santun dan tak berbelit-belit dalam memberikan keterangan lazim ditemukan dalam sebuah vonis.
Sebab hal demikian diputuskan berdasakan perasaan seorang hakim yang sangat subjektif dan tak bisa diintervensi.
Namun, tetap saja jangan sampai alasan pertimbangan meringankan perilaku terdakwa di ruang sidang itu dijadikan hal utama dalam memutuskan sebuah kasus.
Begitu pula vonis memberatkan atas dasar  tekanan publik, karena jika hal demikian terjadi berpotensi mencederai integritas hakim.
Yah, memang pertimbangan yang meringankan atau memberatkan hakim terhadap terdakwa dalam sebuah vonis dipersidangan tak memiliki dasar dan formula yang jelas dalam aturan perundang-undangan.
Semuanya diserahkan pada subjektivitas hakim dalam mengamati dan menilai perilaku terdakwa sepanjang sidang berjalan.
Jadi, sebenarnya tak ada yang salah juga dengan pertimbangan hukum dari hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Rachel Venya ini.
Walaupun, dirasa publik mencederai rasa keadilan dan hakim mungkin tak memperhitungkan dampak dari putusan tersebut akan membuat penegakan hukum dalam kasus-kasus pelanggaran karantina menjadi tak ajeg lagi.