Dosanya saja sudah "combo" , tetapi karena Rachel Venya anak yang sopan, vonisnya pun jadi santuy, penjara lewat dan life happily ever after layaknya kisah-kisah H.C. Andersen.
Sontak saja vonis Majelis Hakim yang luar biasa terhormat ini mendapat cibiran dari seantero pengisi dunia maya di "universe" +62.
Salah satu netizen, kemudian membandingkan "kesopanan" Rachel Venya dengan  "kesopanan" seorang perempuan tua renta yang bersimpuh, bersujud dimuka majelis hakim memohon keringanan hukuman dalam kasus pencurian sepotong kayu oleh pihak Perhutani.
Kemudian ada pula netizen, Â yang berasumsi ada uang yang bermain dalam vonis terhadap Rachel Venya ini.
"Jika uang telah memihak keadilan dunia, kami akan tetap membawa kesaksian itu di hadapan Tuhan, Hakim yg Maha Kuasa," tulis Netizen itu.
Untuk hal ini, kita tak bisa juga menghakimi hakim, bisa saja itu terjadi meski sangat mungkin tidak demikian, tak boleh juga menuduh tanpa bukti.
Yang jelas hal yang meringankan versi majelis hakim itu dirasa janggal oleh publik, dan membuka ingatan pada vonis hakim terhadap eks Mensos Juliari Batubara dalam kasus korupsi dana bansos Covid-19.
Dalam vonis terhadap Juliari, salah satu yang meringankan hukumannya karena Juliari dianggap hakim sudah cukup menderita, dicaci, dimaki, dicerca, dan dihina oleh masyarakat meski vonis belum jatuh.
Pun demikian pada kasus suap Jaksa Pinangki, hukumannya di diskon hingga 60 persen dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara saja, hanya dengan alasan Pinangki masih memiliki anak balita, padahal diluar sana lebih banyak terdakwa perempuan yang memiliki anak balita hukumannya tak di diskon segitu banyak.
Itu hanya tiga contoh kasus dari sekian banyak bagian keputusan hakim yang dinilai publik janggal dalam memberikan pertimbangan yang meringankan pada vonis-vonis pengadilan di Indonesia.
Hakim sejatinya memiliki keleluasan untuk memutuskan apapun terhadap kasus yang menjadi tanggungjawabnya.