Dan kita tahu dalam proses politiknya kemudian menimbulkan gesekan dan polarasi atas dasar agama yang cukup dalam.
Hal tersebut kemudian berimbas juga pada pemilu 2019, politisasi agama menjadi sebuah cara untuk meraup suara.
Agama dan politik itu hubungannya selalu menimbulkan perdebatan, sebuah hal klasik yang entah kapan menemukan titik usainya.
Sebagian pihak berpendapat perdebatan ini akan berakhir ketika masyarakat sudah beranjak dewasa dan well informed dalam berpolitik.
Tapi faktanya, di negara-negara maju sekalipun, kerumitan hubungan antara politik dan agama tetap terjadi.
Di Indonesia, situasi seperti yang dilakukan oleh MUI DKI ini hingga titik tertentu bisa disebut sebagai fakta yang menunjukan dosis isu agama akan beranjak naik seiring mendekatnya kegiatan politik elektabilitas seperti pemilu, pilkada ataupun pilpres.
Penggunaan dosis agama dalam berpolitik inilah yang sering kita sebut politisasi agama, yakni agama dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan politik.
Mengapa agama sangat mudah dijadikan alat politik, karena semangat emosional merupakan unsur terkuat dalam memperkokoh dukungan.
Salah satu unsur terpenting dalam beragama adalah keimanan yang dalam bahasa teknisnya menurut sumber referensi yang saya peroleh, keimanan merupakan keterlibatan emosi dalam membangun keyakinan pada sesuatu yang ghaib dan Yang Maha Kuasa.
Jika unsur emosi ini disentuh, kemungkinan besar unsur emosi lain pun akan terbawa pada arus emosi yang sama.
Dengan demikian tak heranlah jika politisasi agama menjadi gerakan politik yang sangat efektif, dan jangan lupa sangat efesien karena ongkosnya jauh lebih murah.