Jika kekerasan seksual terjadi penanganannya pun kerap tak memadai, tak sensitif dan pro korban.
Trauma korban pelecehan seksual pun tak terpulihkan dengan layak akibat post trauma treatment-nya  sangat tak memadai.
Atas dasar-dasar itu kita tahu ada kebutuhan untuk membuat aturan yang bisa meminimalisasi kejadian kekerasan seksual maka lahirnya Permendikbud nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan kekeraasan seksual tersebut.
Nah sekarang para pihak yang menentang aturan baru tersebut, argumen ketidaksetujuannya itu out of context alias tidak nyambung atau dalam logical fallacy termasuk dalam jenis ignoratio elenchi.
Apakah mereka yang menentang Permendikbud 30 ini tak memahami bahwa argumentasi mereka mengandung fallacy yang kental?
Saya kira mereka paham betul, namun karena ada misi tertentu dibalik penentangannya itu apalagi hal tersebut dikait-kaitkan dengan urusan agama masalahnya jadi ramai maka mereka memperoleh panggung secara politik.
Kenapa demikian?
Lantaran isu kekerasan seksual yang menjadi dasar keluarnya aturan Permendikbud nomor 30 itu sama sekali tak berhubungan dengan legalisasi zina seperti argumen mereka.
Garis antara kedua isu itu legaisasi zina dan pencegahan kekerasan seksual itu tak linier alias zig zag.
Akarnya berbeda, ruang pembahasannya pun lain tapi mereka yang berada di pihak yang menentang Permindikbud 30 itu berusaha keras agar isu tersebut dibikin linier dan berkaitan.
Analoginya begini, karena saya merupakan pengguna KRL Jabodetabek saya akan analogikan ke dalam sebuah perjalanan kereta.