Pemerintah Jokowi sepertinya bakal mempertahankan keberadaan maskapai penerbangan Flag Carrier Garuda Indonesian Airways at any cost, ditengah turbulensi utang yang menggunung.
Saat ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bersama manajemen Garuda sedang berupaya keras untuk menyelamatkan maskapai penerbangan yang didirikan pada tahun 1949 ini.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan manajemen Garuda adalah menyelesaikan masalah keuangan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.
Menurut Menteri BUMN Erick Thohir seperti dilansir sejumlah media, Garuda memiliki utang US$ 7 miliar atau senilai Rp. 100,2 triliun yang saat ini tengah dilakukan upaya restrukturisasi utang , selain itu pemerintah juga tengah berusaha membuka opsi lain untuk membantu memulihkan kondisi Garuda.
"Upaya restrukturisasi terus berjalan. Negosiasi utang-utang Garuda yang mencapai US$7 miliar karena leasing cost termahal yang mencapai 26 persen dan juga korupsi lagi dinegosiasikan dengan para lessor," urainya seperti dilansir Bisnis.com, Jumat (05/11/21)
Selain renegosiasi dan restrukturisasi utang, salah satu opsi yang dipilih oleh Pemerintah untuk menyehatkan Garuda  adalah merubah orientasi bisnis Garuda menjadi fokus di rute-rute penerbangan domestik, sementara untuk rute penerbangan internasional Garuda akan bekerjasama dengan maskapai asal Uni Emirat Arab, Emirates yang perjanjiannya berbentuk code sharing.
Istilah Perjanjian Codeshare adalah hal yang lazim dalam bisnis penerbangan, perjanjian tersebut merupakan sebuah perjanjian dimana dua maskapai atau lebih melayani satu rute penerbangan.
Dalam hal restrukturisasi utang dan renegosiasi dengan para kreditur, manajemen Garuda dan Pemerintah kini mencoba melebarkan prespektif dan mengkaji berbagai kemungkinan termasuk di dalamnya dialihkan menjadi instrumen keuangan misalnya obligasi konversi wajib atau pinjaman bank tanpa kupon.
Memang jika konversi utang tersebut disetujui oleh pihak kreditur, Garuda harus mengeluarkan biaya tambahan sebagai goodwill, tetapi ya bagaimana lagi kan namanya juga negosiasi harus menguntungkan kedua belah pihak, mana mungkin kreditur mau memberi gratis perpanjangan utang seperti itu.
Renegosiasi dan restrukturisasi utang ini diharapkan bisa diselesaikan Garuda pada kuartal II tahun 2022 yang akan datang.
Yang paling alot dalam urusan restrukturisasi utang ini adalah urusan dengan Lessor atau pemberi sewa pesawat yang selama ini digunakan Garuda.
Dari seluruh pesawat yang saat ini dioperasikan oleh Garuda sebanyak 142 pesawat, hanya 6 yang dimiliki oleh Perseroan sisanya sebanyak 136 pesawat statusnya sewa.
Restrukturisasi ini akan memiliki konsekuensi bagi Garuda untuk mengembalikan 80 pesawat dari berbagai tipe yang saat ini digunakan kepada para Lessor.
Untuk itu Garuda menurut data yang dilansir Cirium.com, berencana akan menghapus sebagian besar pesawat berbadan lebar yang biasanya digunakan untuk rute-rute penerbangan internasional Maskapai Pelat Merah ini, diantaranya seluruh Boeing 777-300ER yang berjumlah 10 unit dan 7 Airbus A330-200 dari armadanya.
Selanjutnya untuk tipe narrow body, Garuda ingin mempertahankan 56 unit A320/A320 Neo untuk dioperasikan oleh Citilink, sekaligus membatalkan atau menegosiasikan kembali 25 pesanannya untuk A320 Neo. Semua unit A320 yang saat ini ada merupakan hasil penyewaan.
Mengenai tipe narrow body Boeing, Garuda ingin mempertahankan 53 737-800 dan menghapus 17 sisanya. Semua tipe pesawat 737 ini berstatus sewa. Bahkan GIAA juga berharap menghapus satu-satunya Max dari daftar pesawatnya yang dikelola oleh Bocomm Leasing, sambil menegosiasikan ulang atau membatalkan pesanan untuk 49 sisanya di buku pesanannya.
Semua hal yang dilakukan oleh manajemen Garuda dan Pemerintah ini diharapkan akan mampu memangkas utang Garuda di kisaran 70 hingga 80 persen agar paling tidak bisa bertahan.
Andai semua negosiasi ulang dan restrukturisasi utang ini berhasil dirampungkan, menurut Wakil Menteri BUMN Kartiko Wiryo Atmodjo Garuda membutuhkan suntikan dana sebesar US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 14,5 triliun untuk bisa membayar kewajiban hasil restrukturisasi dan modal kerja.
Untuk memenuhi kebutuhan dana sebesar itu Pemerintah akan berupaya dengan berbagai cara termasuk membuka opsi bagi pihak swasta untuk menjadi pemilik saham mayoritas di Maskapai milik Negara ini.
Pertanyaannya kemudian, pihak swasta mana yang berminat membenamkan investasinya di perusahaan yang nyaris collaps seperti Garuda Indonesian Airways ini?
Salah urus yang menahun, disertai indikasi korupsi dan Pandemi Covid-19 membuat keuangan Garuda terpuruk nyaris ke dasar jurang. Maskapai sehat seperti Singapore Airlines saja sempoyongan kok dihajar Pandemi Covid-19 apalagi Garuda yang dari awal memang sudah kurang sehat kondisi keuangannya.
Dengan kondisi seperti ini apakah rasional bagi pemerintah untuk mempertahankan Garuda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H