Tagar #MafiaPCR mulai naik menjadi trending topik pagi ini di platform media sosial Twitter, kebanyakan dari pengusung tagar ini merujuk pada laporan investigatif yang dilakukan oleh Majalah Tempo yang dirilis dalam edisi terbaru  1 November 2021 kemarin.
Bertambah seru, dalam laporan Tempo tersebut menunjukan ada sinyalemen keterlibatan perusahaan yang di miliki oleh Luhut Binsar Pandjaitan dalam lingkaran bisnis tes PCR ini.
Isu berkelindannya bisnis dan kesehatan dalam urusan tes PCR ini sebenarnya sudah lama terdengar meskipun sayup-sayup.
Belakangan isu ini tambah keras terdengar setelah pemerintah secara tiba-tiba di tengah menurunnya kasus baru Covid-19, mewajibkan seluruh masyarakat yang berniat melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang harus melakukan tes PCR terlebih dahulu.
Seperti diketahui saat aturan baru tersebut diumumkan, harga tes PCR masih ada dikisaran Rp.495 ribu-Rp.550 ribu.
Sontak masyarakat meradang, memprotes keras aturan ini. Pemerintah keukeuh tes PCR diwajibkan demi kemaslahatan bersama, untuk mengantisipasi gelombang ketiga pandemi Covid-19.
Meskipun kemudian aturannya diperlunak dan harga eceran tertinggi(HET) tes PCR diturunkan di kisaran Rp.290 ribu -Rp. 300 ribu dan masa berlakunya diperpanjang dari hanya 1x24 jam menjadi 3x24 jam.
Tapi masyarakat tidak puas mereka tetap menuntut tes PCR itu dihapuskan atau harga tes PCR itu diturunkan hingga dibawah Rp.100 ribu.
Dalam waktu 2 hari, Senin 1 November 2021 kemarin keluar kebijakan baru dirilis lagi oleh pemerintah, kini menyasar perjalanan darat.
Setiap orang yang melakukan perjalanan darat jarak jauh minimal berjarak 250 km dengan menggunakan moda transportasi darat apapun wajib melakukan tes PCR atau antigen. Dalam hitungan jam berselang, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengumumkan bahwa tes PCR bagi penumpang pesawat terbang kini tak wajib lagi, cukup tes Antigen saja.
"Untuk perjalanan akan ada perubahan yaitu untuk wilayah Jawa dan Bali, perjalanan udara tidak lagi mengharuskan menggunakan tes PCR," ungkapnya, seperti dilansir Merdeka.com, Senin (01/11/21).
Bayangkan sebuah isu dalam hal ini tes PCR dan Antigen, kebijakannya berubah-rubah dalam hitungan hari dan satu sama lain bertolak belakang, isuk dele sore tempe.
Berubah-ubahnya aturan ini, membuat masyarakat bingung, sebenarnya dalam membuat sebuah kebijakan pemerintah tak melakukan kajian yang mendalam terlebih dahulu?
Enak banget yah, bikin kebijakan yang dituangkan dalam surat edaran atau apapun lah itu, lantas dengan santainya diumumkan, ketika mendapati reaksi masyarakat tak setuju dan marah, rubah lagi kebijakan itu, balik lagi ke aturan sebelumnya.
Model pemerintahan macam apa kaya gitu?
Peraturan RT aja kelihatannya lebih ajeg dibandingkan aturan tentang tes-tes-an begini.
Kalau pemerintah ini yakin dan sudah berdasarkan kajian yang dalam dan validitasnya bisa dipertanggungjawabkan seharusnya tekanan apapun dari masyarakat ya jalan saja.
Tapi kan ini tidak, kelihatan banget gagapnya, ditekan tiba-tiba dalam hitungan hari aturan dirubah lagi.
Pun demikian dengan harga tes PCR dan ini yang paling parah, dalam kegelapan informasi tiba-tiba masyarakat dikenakan biaya oleh para pelaku bisnis kesehatan untuk melakukan tes PCR dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi harganya diatas Rp 1 juta bahkan ada yang pernah hingga diatas Rp 4 juta.
Kemudian karena liarnya harga tes PCR ini menimbulkan protes masyarakat, pemerintah mematok HET tes PCR menjadi Rp.900 ribu.
Eh diprotes lagi, beberapa bulan kemudian diturunkan lagi HET-nya hampir setengahnya menjadi berkisar antara Rp.490 ribu-Rp.550 ribu.
Diprotes lagi dalam waktu 3 hari, diturunkan kembali HET-nya oleh pemerintah dengan besaran hampir setengahnya lagi menjadi Rp.290 ribu-Rp.300 ribu.
Ini apa sih!
Menurunkan harga barang bisa seenak begitu tanpa proses yang membutuhkan waktu panjang, sesuatu yang aneh dalam logika bisnis kecuali sedari awal memang harga dasar tes PCR itu memang sudah sangat murah, bisa jadi dibawah harga Rp.100 ribu.
Dan menurut hasil investigasi majalah Tempo seperti dilansir oleh Kompas.TV. Reagen bahan baku utama tes PCR yang merupakan komponen biaya terbesar dalam tes PCR ternyata harganya berkisar antara Rp.13 ribu hingga paling mahal Rp 60 ribu.
Jika hasil investigasi Tempo ini benar adanya, ini Gila dan pantas mereka disebut MAFIA PCR.
Bayangkan berapa keuntungan mereka?
Ironisnya keuntungan mereka yang menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) ada di angka Rp. 10 triliun itu  didapatkan para pelaku bisnis kesehatan ini dengan cara menari di atas penderitaan orang lain.
Di tengah kesulitan ekonomi masyarakat akibat pandemi mereka berpesta pora, busuk memang kelakuan mereka meskipun secara bisnis ya sah-sah saja.
Toh dari dulu juga industri kesehatan memang penuh lika liku yang nir transpransi, kita kadang tak pernah tahu obat A bisa begitu mahal dibanding obat B meskipun kandungan dan khasiatnya tak jauh berbeda.
Sengkarut bisnis PCR merupakan gambaran bisnis industri kesehatan di Indonesia, ketidaktahuan masyarakat, ditambah kegagapan pemerintah dalam menerapkan aturan dan keserakahan para pelaku bisnis kesehatan membuat  mafia DALAM INDUSTRI KESEHATAN bergerak leluasa .
Publik juga tak tahu persis apa kah pemerintah memang gagap beneran atau cuma gagap-gagapan kaya pelakon Azis Gagap yang dalam kehidupan nyatanya tidak gagap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H