Searching but not finding
understanding anywhere
We're lost in a masquerade.....
Rangkaian kalimat di atas adalah paragraf pembuka lagu"This Masquerade" ciptaan Leon Russell yang dinyanyikan dengan indah oleh George Benson.
Narasi dalam lirik lagu ini menggambarkan, bahwa tak semua yang nampak dipermukaan itu merupakan sebuah kebenaran sejati, karena ada "topeng"yang menutupinya
Topeng dalam dunia politik biasanya selalu berkutat pada kepentingan kelompok atau pribadi.Â
Kita harus ingat menurut sejumlah pandit, politik itu perkara persepsi, dan persepsi yang ingin mereka bangun adalah agar terlihat berpihak pada masyarakat pemilihnya
Dalam politik kekuasaan hal seperti ini lazim terjadi, para pelaku politik kerap tak menyatakan secara jelas dan ajeg sikapnya, tujuannya A tetapi agar terlihat B mereka bersikap seolah-olah berniat melakukan B.
Itu lah yang terjadi pada saat mereka menyikapi tarik ulur Pemilu Pilkada 2024, pihak yang menolak revisi RancanganUndang-Undang Pemilu dibahas yang menggabungkan UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU nomor 10 tahun 2016 yang memungkinkan Pilkada serentak dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023 demi kepentingan rakyat.
Pun demikian dengan pihak yang bersikeras revisi RUU Pilkada harus segera dilakukan, mengatasnamakan kepentingan rakyat sebagai dasar alasannya.
Padahal kita tak pernah tahu, apakah kedua belah pihak itu bersitegang memang untuk kepentingan rakyat atau kepentingan kelompoknya sendiri.
Inti dari tarik ulur revisi RUU Pemilu ini adalah pihak yang menolak revisi menghendaki penundaan Pilkada 2022 dan 2023 menjadi pemilu serentak pada tahun 2024.
Sementara yang mendukung revisi RUU Pemilu menghendaki  Pilkada dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023 sesuai habisnya masa jabatan para kepala daerah di 272 Provinsi dan Kota/Kabupaten.
Pihak yang menolak revisi RUU Pilkada di parlemen terdiri dari koalisi partai pendukung pemerintah dan  seperti PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan PAN.
Alasan mereka yang menolak revisi RUU Pemilu sebenarnya tak terlalu kuat, PAN misalnya menganggap aturan yang sudah ada masih cukup baik dan belum perlu dirubah.
Kedua, mereka menggunakan alasan pandemi Covid-19 dan pemulihan dampak ekonominya yang disebutkan oleh mereka lebih penting, dibandingkan menyelenggarakan Pilkada 2022 dab 2023.
Lain halnya, PDIP dan PPP beralasan UU Pemilu itu harus  bisa ditetapkan terlebih dahulu baru di evaluasi kemudian.
Sementara pihak yang mendukung revisi hanya 2 partai politik dengan dukungan sebagian kelompok ekstra parlementer yang diantaranya dari kalangan masyarakat sipil.
Alasan mereka berkutat pada masalah teknis pelaksanaan, mereka menyinggung beratnya pelaksanaan pemilu jika dilakukan dalam waktu bersamaan, pada pemilu 2019 lalu saja yang belum serentak seperti nanti korban jiwa petugas pelaksana pemilu ratusan orang karena kelelahan, apalagi jika dilakukan serentak semuanya.
Lantas alasan mereka yang lain, adalah banyaknya kepala daerah yang akan dijabat oleh penjabat kepala daerah yang ditetapkan oleh Menteri dalam Negeri dan Presiden yang mereka nilai dapat menggerus marwah demokrasi.
Selain itu secara teknis pengambilan keputusan, para penjabat tak memiliki wewenang seluas dan sekuat serta legitimasi sebesar kepala daerah hasil Pilkada.
Dan memang secara aturan seorang penjabat tak boleh mengambil keputusan yang krusial saat mereka memegang kuasa tersebut.
Sikap pemerintah Jokowi sendiri, menolak Pembahasan RUU tersebut, lantaran mereka akan lebih berkonsentrasi pada pengendalian pandemi Covid-19 dan menangani segala dampaknya terutama di sektor ekonomi.
Alasan pemerintah ini  ambigu dan tidak konsisten saya kira, Pilkada 2020 lalu juga diselenggarakan saat pandemi, sejumlah pihak meminta Pilkada 2020 ditunda saja tapi saat itu pemerintah Jokowi bersikeras tetap melaksanakan Pilkada 2020 dengan alasan Plt itu terbatas kewenangannya seperti diungkapkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Terus apa bedanya dengan penundaan Pemilu Pilkada 2022 dan 2023 menjadi tahun 2024, ingat akan ada 272 kepala daerah yang masa jabatannya habis dan harus diganti dengan Plt atau penjabat, yang kata Tito tadi kewenangannya terbatas.
Aneh kan?
Semua pihak berpolitik seolah-olah untuk kepentingan rakyat padahal intinya sih untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri.
Konon katanya menurut sejumlah pengamat politik, bahwa tarik ulur revisi UU Pemilu ini berkaitan erat dengan politik kekuasaan pemilihan presiden 2024.
Para kepala daerah yang memiliki panggung politik saat ia memerintah daerahnya, akan kehilangan panggungnya saat mereka tak lagi memegang jabatan.
Sebut saja misalnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang akan habis masa jabatannya tahun 2023, atau Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo  yang berakhir masa jabatannya pada tahun yang sama.
Jangan lupa Kang Emil Gubernur Jawa Barat yang juga akan menjabat hingga 2023. Ketiganya memiliki elektabilitas tinggi untuk menjadi calon Presiden 2024 dalam berbagai survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey yang kredibel.
Mungkin ada harapan dari yang menolak RUU Pemilu sehingga Pilkada itu ditunda, elektabilitas mereka akan turun karena panggungnya hilang.
Dan ini menjadi keuntungan bagi mereka yang berniat mencalonkan capres lain diluar ketiga orang tersebut.
Di pihak lain para pendukung revisi RUU Pemilu terutama PKS tak rela calon jagoannya di Pilpres 2024 yang akan datang kehilangan panggungnya agar namanya tetap bisa moncer.
Namun semua itu masih dugaan dan asumsi saja, karena seperti yang saya tulis di 3 paragraf pembuka diatas yang terlihat dipermukaan belum tentu yang sebenarnya terjadi.
Politik itu penuh topeng, kita hanya bisa menduga-duga, kepastiannya hanya akan terlihat saat langkah-langkahnya menjadi fakta dilapangan.
Each time I see your eyes
And no matter how hard I try
To understand the reasons
Why we carry on this way
We're lost in this masquerade
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H