Pihak yang menolak revisi RUU Pilkada di parlemen terdiri dari koalisi partai pendukung pemerintah dan  seperti PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan PAN.
Alasan mereka yang menolak revisi RUU Pemilu sebenarnya tak terlalu kuat, PAN misalnya menganggap aturan yang sudah ada masih cukup baik dan belum perlu dirubah.
Kedua, mereka menggunakan alasan pandemi Covid-19 dan pemulihan dampak ekonominya yang disebutkan oleh mereka lebih penting, dibandingkan menyelenggarakan Pilkada 2022 dab 2023.
Lain halnya, PDIP dan PPP beralasan UU Pemilu itu harus  bisa ditetapkan terlebih dahulu baru di evaluasi kemudian.
Sementara pihak yang mendukung revisi hanya 2 partai politik dengan dukungan sebagian kelompok ekstra parlementer yang diantaranya dari kalangan masyarakat sipil.
Alasan mereka berkutat pada masalah teknis pelaksanaan, mereka menyinggung beratnya pelaksanaan pemilu jika dilakukan dalam waktu bersamaan, pada pemilu 2019 lalu saja yang belum serentak seperti nanti korban jiwa petugas pelaksana pemilu ratusan orang karena kelelahan, apalagi jika dilakukan serentak semuanya.
Lantas alasan mereka yang lain, adalah banyaknya kepala daerah yang akan dijabat oleh penjabat kepala daerah yang ditetapkan oleh Menteri dalam Negeri dan Presiden yang mereka nilai dapat menggerus marwah demokrasi.
Selain itu secara teknis pengambilan keputusan, para penjabat tak memiliki wewenang seluas dan sekuat serta legitimasi sebesar kepala daerah hasil Pilkada.
Dan memang secara aturan seorang penjabat tak boleh mengambil keputusan yang krusial saat mereka memegang kuasa tersebut.
Sikap pemerintah Jokowi sendiri, menolak Pembahasan RUU tersebut, lantaran mereka akan lebih berkonsentrasi pada pengendalian pandemi Covid-19 dan menangani segala dampaknya terutama di sektor ekonomi.
Alasan pemerintah ini  ambigu dan tidak konsisten saya kira, Pilkada 2020 lalu juga diselenggarakan saat pandemi, sejumlah pihak meminta Pilkada 2020 ditunda saja tapi saat itu pemerintah Jokowi bersikeras tetap melaksanakan Pilkada 2020 dengan alasan Plt itu terbatas kewenangannya seperti diungkapkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.