Tewasnya 40 orang terpidana narkoba dan 1 terpidana teroris dalam kebakaran Blok C salah satu bagian di Lapas Kelas I Tangerang adalah sebuah tragedi sekaligus potret buram yang menahun dalam sistem pemenjaraan di Indonesia.
Bayangkan mereka terpanggang hingga tewas dalam kondisi terkunci dalam sel yang mereka tempati tanpa memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Ada sejumlah faktor yang harus disorot dan menjadi pelajaran mahal dari kejadian tersebut.Â
Pertama masalah manajemen risiko dalam pengelolaan penjara termasuk di dalamnya early warning sistem dan mitigasi kebencanaan.
Kedua, masalah hulunya yaitu sistem pemidanaan yang ada dalam hukum di Indonesia yang "penjara sentrik". Segala urusan hukum pidana di Indonesia ujungnya hanya pemenjaraan, sehingga masalah over kapasitas penjara seolah tak kunjung bisa diselesaikan.
Ketiga, masalah anggaran dan sumber daya manusia yang menjaga dan mengawasi penjara di Indonesia sangat jomplang dengan jumlah narapidana yang ada.
Faktor pertama terkait manajemen risiko, khususnya dalam menghadapi kemungkinan bencana, itu benar-benar harus diperhatikan bagaimana sistem mitigasi jika bencana terjadi, audit mengenai hal ini harus sesegara mungkin dilakukan, agar tragedi Lapas Kelas I Tangerang tak terjadi lagi.
Seperti kita baca dalam berbagai berita terkait peristiwa yang mengerikan di Lapas Tangerang tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa salah satu faktor yang menjadi masalah dalam penjara Indonesia adalah Over Capacity alias kelebihan kapasitas penghuni penjara.
Saat kebakaran terjadi di Lapas Tangerang kapasitas penjara tersebut kelebihan kapasitas penghuni sebesar 400 persen.
Lapas Kelas I Tangerang sebenarnya memiliki kapasitas 600 narapidana, faktanya hingga tragedi itu berlangsung dihuni oleh 2000 lebih narapidana.