Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Setelah Moeldoko, Luhut Somasi Aktivis, Kalau Benar Kenapa Harus Takut di Somasi?

30 Agustus 2021   11:55 Diperbarui: 30 Agustus 2021   13:19 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan upaya hukum somasi kerap dilayangkan para pejabat publik kepada para pihak yang mereka anggap memberikan informasi tak benar berbau fitnah terhadap diri mereka.

Terakhir Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan melakukan somasi kepada aktivis HAM yang sekarang juga merangkap sebagai pengacara, Haris Azhar.

Somasi Luhut terhadap Haris ini berkaitan dengan konten miliknya dalam sebuah channel Youtube yang membahas soal rencana eksplorasi tambang mas di Bukit Wabu Intan Jaya, Papua.

Obrolan yang menghadirkan dua narasumber yakni Fatia Maulidiyanti dari KontraS dan Kepala Divisi Advokasi Walhi Papua Wirya Supriadi.

Konten milik Haris ini diunggah di Youtube pada 20 Agustus 2021 merupakan obrolan tentang hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil mengenai Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua dalam Kasus Intan Jaya.

Nah, yang kemudian jadi masalah sampai akhirnya disomasi oleh Luhut adalah saat Haris dan Fatia menyebutkan ada keterlibatan perusahaan milik Luhut di penambangan emas di blok  Wabu tersebut, seperti diungkapkan oleh Juru Bicara Menko Marves  Jodi Mahardi.

"Karena unggahan di channel Youtube saudara Haris Azhar dimaksud telah membentuk opini atau pernyataan-pernyataan yang tidak benar, tendesius, character assassination, fitnah, penghinaan/pencemaran nama baik dan berita bohong bahwa Pak Luhut bermain-main dalam bisnis pertambangan di Blok Wabu," kata Jodi seperti dilansir CNNIndonesia.com, Sabtu (28/08/21).

Somasi Luhut sendiri dilayangkan Luhut melalui pengacaranya Juniver Girsang pada 26 Agustus 2021 lalu.

Dalam somasi-nya Luhut meminta kepada Haris Azhar dan Fatia untuk menerangkan apa motif dan tujuan kedua orang tersebut memberikan informasi tersebut serta meminta maaf dan mencabut pernyataan mereka dalam wawancara itu paling lambat 5x24 jam terhitung sejak somasi  dilayangkan.

Kenapa somasi itu harus diberikan, menurut Juniver seperti yang saya saksikan dalam sebuah wawancara di Kompas.TV, Minggu 29 Agustus 2021, karena kedua orang tersebut dianggap telah membentuk opini yang tendensius, memfitnah, mencemarkan nama baik, membunuh karakter serta menyebarkan kebohongan.

Jika sampai tenggat waktu yang ditentukan keduanya, tak menanggapi somasi tersebut maka jalur hukum bakal ditempuh oleh Luhut.

Bukan kali ini saja pejabat publik melakukan somasi kepada para pihak yang dianggap mencemarkan nama baiknya akibat bangunan "kritik" yang coba mereka sampaikan.

Tentunya kita masih ingat saat Indonesia Corruption Watch (ICW) di somasi oleh Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, terkait ucapan ICW bahwa ada keterlibatan Moeldoko dalam masalah kontroversi obat Covid-19 Ivermectin.

Kecenderungan pejabat publik melayangkan somasi, seperti yang dilakukan LBP dan Moeldoko dianggap oleh sejumlah pengamat politik sebagai sikap antikritik  dan anti terhadap sains.

Mengingat apa yang diucapkan oleh Haris dan Fatia serta ICW itu berdasarkan pada hasil penelitian.

Selain itu mereka pun beranggapan bahwa somasi yang dilayangkan tersebut merupakan upaya pembungkaman yang menghalangi kebebasan berpendapat.

Hal ini mengarah pada melegitimasi kekuasaan absolut dan pemerintah terkesan arogan terhadap para pihak yang bersuara sumbang.

Pendapat ini justru aneh menurut saya, wajar saja ketika hasil penelitian itu digugat berdasarkan fakta yang lain karena dianggap tidak berkesesuaian dengan fakta yang yang mereka miliki.

Sekarang mari kita telisik dulu apa arti Somasi. Somasi adalah surat teguran atau peringatan yang diberikan kepada calon tergugat dan pelaksanaanya diatur dalam pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jika somasi itu diindahkan atau dalam perjalanan prosesnya si calon tergugat berhasil meyakinkan calon penggugat bahwa ia akan atau telah memenuhi tuntutan dalam somasi tersebut, somasi itu akan dicabut dan permasalahan dianggap selesai.

Dalam hal somasi yang dilayangkan oleh Luhut dan Moeldoko mereka meminta para pihak tersebut untuk memberikan klarifikasi terhadap pernyataan -pernyataan yang mereka buat.

Jika memang seperti yang mereka ungkapkan bahwa pernyataan mereka merupakan hasil penelitian ya tinggal beberkan saja bukti-bukti penelitian otentiknya.

Dengan demikian mereka akan memiliki panggung yang valid untuk menerangkan temua penelitian mereka.

Jika bukti tersebut tak terbantahkan, bisa saja akan membuat Luhut dan Moeldoko mengakui hal tersebut.

Jadi kenapa juga upaya somasi yang dilakukan disebut sebagai sebuah upaya pembungkaman kritik atau arogansi pejabat.

Kalau benar mereka memiliki bukti valid bukan hanya sekedar gosip tak berdasar kenapa harus takut jika somasi dilakukan dan menyebut hal tersebut mengangkangi kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat itu juga harus diiringi kebebasan untuk berpikir bahwa orang lain akan menyangkal pendapatan mereka.

Lantas kita juga kan seharusnya mampu membedakan mana kritik mana fitnah, itu kan jelas bedanya.

Kalau kebebasan berpendapat itu bebas sebebas bebasnya ya bisa chaos negeri ini, saya atau siapapun bebas memfitnah siapapun karena tidak suka pada pihak tersebut.

Jadi sekali lagi jika memang benar hasil penelitian tersebut memberi bukti valid keterlibatan Luhut, Moeldoko atau siapapun  ya tinggal pertahankan saja bukti  tersebut seperti yang mereka ucapkan, kenapa harus takut di somasi.

Kan bagus semuanya menjadi jelas.

Namun, jika hal yang dianggap mereka sebagai "kritik dan hasil penelitian" ternyata tak memiliki bukti pendukung yang kuat jangan pula berlindung di balik kebebasan berpendapat, terimalah konsekuensinya.

Lebih baik sih, hati-hati dalam berbicara dan mencuitkan sesuatu di media sosial yang menjadi konsumsi publik.

Mungkin jika diskusi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tersebut dilakukan untuk khalayak terbatas dikalangan akademisi sih ga akan menjadi masalah, tapi kan channel Youtube itu ruang publik yang siapapun bisa mengakses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun