Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Situasi Ekonomi Afghanistan di Bawah Kendali Taliban Menuju Kegelapan?

23 Agustus 2021   07:02 Diperbarui: 23 Agustus 2021   09:17 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sscara umum salah satu tujuan bernegara menurut Ahli Teori Politik asal Inggris Harold Joseph Leski dalam bukunya "The State in Theory and Practice" adalah menciptakan keadaan dimana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal.

Selain faktor ketertiban dan keamanan, yang paling krusial dalam fungsi dan tujuan bernegara adalah mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Apabila berbicara kemakmuran dan kesejahteraan berarti berhubungan dengan kemampuan ekonomi sebuah negara.

Jika kemudian dikaitkan dengan negara Afghanistan yang kini dikuasai oleh Kelompok garis keras Talibam, jika memang benar Taliban akan memerintah Afghanistan secara baik dan benar, salah satu yang harus diperhatikan oleh mereka adalah bagaimana rakyat Afghanistan bisa hidup sejahtera.

Padahal menurut laporan Bank Dunia terbaru, sebelum Taliban menguasai Afghanistan, perekonomian negeri ini  dalam kondisi rapuh dan tergantung pada bantuan negara donor.

Bayangkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Afghanistan didominasi oleh bantuan asing, dan  75 persen bantuan asing tersebut digunakan oleh Pemerintah Afghanistan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pemerintahannya dalam mengurus rakyat Afghanistan seperti untuk menggaji pegawai, polisi, dan militer karena pada dasarnya kemampuan pemerintah Afghanistan dalam men-generate pendapatan negara sangat minim.

Apalagi kemudian setelah Taliban berkuasa di Afghanistan, semua negara dan lembaga keuangan dunia berbondong-bondong untuk menghentikan semua dana donornya kepada Afghanistan dibawah pemerintahan Taliban.

Amerika Serikat, uang asal negara ini lah yang selama 20 tahun menunjang kehidupan di Afghanistan. 

Sesaat setelah Taliban menguasai Afghanistan, pemerintah Joe Biden seperti dilansir oleh Bloomberg langsung membekukan aset milik Bank Sentral Afghanistan senilai US$ 9,5 miliar atau setara Rp.137 triliun.

Selain itu, pengiriman uang tunai berbentuk dollar ke Afghanistan pun dihentikan hingga batas waktu yang belum ditentukan, hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi agar mencegah Taliban mengakses uang tersebut.

Pemerintah Jerman pun melakukan hal serupa, sampai Taliban memberikan kepastian dan bukti-bukti nyata secara berkelanjutan bahwa mereka tak akan menerapkan aturan syariah Islam ekstrem menurut interpretasi mereka saat memerintah di Afghanistan.

"Kami memberi bantuan 430 juta euro (sekitar 16 Triliun Rupiah) setiap tahun, dan kami tidak akan memberikan satu sen pun ke Afganistan jika Taliban telah sepenuhnya mengambil alih negara ini dan memperkenalkan hukum Syariah," kata Menteri Luar Negeri Jerman, Heike Mass seperti dilansir DW.com, Kamis(12/08/21).

Dana Moneter Internasional (IMF) seperti dilansir BBC.com, menghentikan seluruh aliran uang ke Afghanistan baik yang berupa pinjaman maupun berbentuk hibah.

Tadinya akses pinjaman ke Afghanistan akan mulai diberikan oleh IMF pada 23 Agustus 2021 ini dengan nilai fantastis, US$ 370 milyar atau setara Rp. 5.365 triliun.

Kemudian akses terhadap instrumen pembiayaan lain dalam aset Special Drawing Rigth (SDR) yang bisa dikonversi menjadi dana dukungan bagi pemerintah Afghanistan juga telah diblokir.

Negara yang sebagian besar membiayai operasional pemerintahannya dan pembangunan negaranya dari bantuan negara dan lembaga donor, tiba-tiba harus kehilangan hampir seluruh bantuan, alhasil hampir dipastikan perekonomian mereka bakal kolaps atau paling tidak masa kegelapan ekonomi menjelang negeri penuh konflik ini.

Tanpa masalah ini pun, Afghanistan sudah menjadi salah satu negeri termiskin di dunia. Kondisi perekonomian Afghanistan sungguh sangat memprihatinkan, 44 persen penduduknya merupakan petani dengan penghasilan sangat rendah.

Perkembangan sektor swasta juga sangat lambat karena faktor instabilitas keamanan dan politik, pemerintahan yang lemah, infrastruktur yang tak memadai dan masifnya korupsi membuat Afghanistan negara yang tak layak untuk berinvestasi.

Menurut data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam 2 tahun terakhir tak satu pun investor berkenan menanamkan modalnya di Afghanistan.

Menurut laporan Bank Dunia, Ekonomi Afghanistan saat ini bisa bergerak lantaran aktifitas ekonomi ilegal, seperti penyelundupan dan produksi salah satu jenis narkotika, Opium.

Afghanistan merupakan produsen terbesar opium dunia, 84 persen opium dunia berasal dari negeri ini.

Kemudian kegiatan penambangan ilegal, dan penyelundupan berbagai komoditas serta yang terakhir adalah premanisme atau dalam konteks Afghanistan biasanya disebut Warlords yang mengutip uang jago dari siapapun yang berada di wilayahnya.

Perekonomian Afghanistan sebenarnya sempat membaik dan tumbuh sangat cepat, setahun setelah Amerika Serikat dan sekutunya menduduki negeri ini.

Pertumbuhan ekonomi negeri itu selama 9 tahun mulai tahun 2003 hingga 2012  rata-rata mencapai 9,4 persen pertahun.

Kondisi ini didorong oleh booming sektor jasa yang naik pesat lantaran dana bantuan dari sejumlah negara barat yang dimotori AS  mengalir deras ditambah dengan pertumbuhan sektor pertanian yang cukup kuat.

Namun, sustainability pertumbuhan tersebut tak terjaga dengan baik, modal besar pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi tak mampu dijadikan pijakan oleh pemerintah Afghanistan untuk meraih pertumbuhan lebih tinggi.

Mereka asyik memperkaya diri sendiri, korupsi merajalela di negeri ini. Selain itu dana hibah dan dana bantuan mulai menurun drastis seiring menurunnya jumlah pasukan internasional mulai tahun 2104.

Dari sebelumnya 110.000 orang menjadi hanya 15.000 orang saja. Pertumbuhan ekonomi rata-rata Afghanistan antara tahun 2015 hingga 2020 anjlok cukup tajam hanya berada di angka 2,5 persen.

Selain menurunnya dana hibah dan bantuan dari dunia internasional, instabiltas keamanan dan politik  memperburuk situasi ekonomi di Afghanistan.

Taliban di kurun waktu tersebut mulai melakukan serangan dan berhasil menguasai sejumlah wilayah di Afghanistan.

Ditambah dengan situasi politik di internal Pemerintah Afghanistan sendiri yang jauh dari kondusif, sengketa pemilu 2014 memperlambat kemajuan reformasi.

Situasi dan kondisi saat ini di bawah Taliban, seperti nya akan menambah buruk perekonomian Afghanistan.

Melansir NBCNews, sejumlah pandit ekonomi global berpendapat situasi ekonomi di Afghanistan ke depan akan gloomy alias suram, bahkan disebutkan menuju masa kegelapan.

Taliban hampir mustahil menjadi pelayan ekonomi yang baik bagi rakyat Afghanistan. Seorang profesor ekonomi Universitas Saint Mary di San Antonio AS, Belinda Roman berpendapat, tak akan mudah bagi rakyat Afghanistan untuk sekedar mendapatkan uang demi kebutuhan hidup.

Lantaran ke depan, besar kemungkinan situasi perekonomian di Afghanistan dibawah Taliban akan sangat mirip Kuba, dengan kontrol mata yang ketat.

Betul Afghanistan memiliki potensi ekonomi kekayaan alam yang cukup besar. Sejumlah media menyebutkan kekayaan mineral negeri ini berpotensi menghasilkan US$1 triliun atau setara Rp. 14.500 triliun.

Kekayaan tambang itu terdiri dari Cobalt, bijih besi, tembaga, Lithium, dan beberapa logam langka yang kandungannya banyak berada di wilayah Afghanistan.

Namun, jangan lupa agar memperoleh manfaat ekonomi, mineral tersebut harus ditambang dan diolah.

Untuk itu memerlukan investasi yang cukup besar, tanpa stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum yang didukung dengan infrastruktur yang layak rasanya agak sulit bagi investor asing untuk masuk ke Afghanistan.

Selain itu, jika pun ada investor yang masuk dibutuhkan proses cukup panjang agar mineral-mineral tersebut bisa di monetasi menjadi uang.

Sementara kebutuhan harian harus terus berjalan, tanpa bantuan masyarakat Internasional perekonomian mereka perlahan bakal ambruk.

Mungkin Taliban hanya bisa berharap pada China atau Rusia dalam hal investasi ini. Kita tahu saat ini kedua negara itulah yang paling dekat dengan Taliban.

Walaupun demikian, sebagai investor tetap saja China dan Rusia membutuhkan stabilitas keamanan dan politik dan kepastian hukum untuk melindungi investasinya.

Taliban sebenarnya menyadari hal itu, makanya mereka sibuk membuat janji akan lebih moderat dan inklusive dalam memerintah Afghanistan kali ini.

Agar mereka mendapat pengakuan dunia global, yang merupakan pintu masuk untuk memperoleh bantuan dari masyarakat internasional.

Meskipun kemudian diketahui kenyataan dilapangan jauh panggang dari api antara ucapan petinggi Taliban dengan tindakan anak buahnya.

Taliban masih terlihat sangat represif, kejam dan ekstrem dalam menerapkan syariah Islam-nya. 

Seretnya perekonomian Afghanistan di bawah Taliban sebenarnya bisa menaikan bargaining position dunia internasional untuk menekan Taliban agar benar-benar moderat saat memerintah di Afghanistan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun