Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyigi Nasib Perempuan Afghanistan Setelah Negaranya Kembali Dikuasai Taliban

18 Agustus 2021   13:46 Diperbarui: 20 Agustus 2021   23:46 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taliban yang kini secara de facto menjadi penguasa di Afghanistan menyatakan bahwa mereka berjanji untuk menghormati hak-hak perempuan warga Afghanistan.

Seperti dilansir Aljazeera.com, Pernyataan ini dirilis dalam Konperensi pers pertamanya  setelah mereka menguasai Istana Kepresidenan di Ibukota Kabul, sebagai penanda mereka sekarang menjadi penguasa Afghanistan.

Juru Bicara resmi Taliban, Zahibullah Mujahid menyatakan Taliban yang kini kembali menguasai Afghanistan berbeda dengan Taliban yang 25 tahun lalu mengendalikan negeri yang selama 4 dekade tak putus di rundung konflik ini.

Selain itu, Zahibullah pun menekankan mereka tak berminat untuk membuka konflik dengan siapapun baik dengan faksi-faksi internal di dalam negeri atau pun dengan komunitas internasional.

"Kami tidak sedang mencari musuh secara eksternal maupun internal"ujarnya seperti dilansir AlJazeera.com, Rabu (18/08/21) waktu setempat.

Selain itu, untuk menjamin stabilitas keamanan dan politik, Taliban akan memberi amnesty kepada pihak-pihak yang selama ini memerangi dan berseberangan dengan mereka.

Janji Taliban ini tentu saja menggembirakan banyak pihak, meskipun sebagian besar dari pihak itu termasuk media-media barat dan warga Afghanistan sendiri tak serta merta percaya dengan ucapan Taliban ini, mengingat sejarah mereka selama ini ketika memerintah sangat otoriter, tertutup, kejam dan sama sekali tak menghormati hak-hak perempuan.

Saat Taliban pertama kali menguasai Afghanistan pada medio 90an, banyak pihak sangat berharap mereka akan mampu memberikan stabilitas ke negara itu.

Namun faktanya, seperti yang saya kutip dari berbagai sumber bacaan, ketika mereka mulai memegang kendali pemerintahan pada tahun 1996, mereka memerintah secara lalim, kejam, dan luar biasa otoriter serta menindas berdasarkan syariat Islam yang mereka tafsirkan sendiri.

Status perempuan menjadi sasaran utama mereka sesaat setelah mulai memerintah,  Seluruh sekolah wanita dari setiap tingkatan mereka tutup.

Setiap perempuan warga Afghanistan dipaksa untuk tetap berada dirumah, yang bekerja saat itu juga harus berhenti yang bersekolah saat itu juga harus menghentikan proses belajarnya.

Tak peduli talenta  dan kepintarannya, atau sepenting apapun kedudukan perempuan itu dibidang pekerjaannya.

Akses terhadap medis pun dikurangi sangat drastis bagi perempuan, aturan pakaian pun berubah secara ekstrem, tak sepotong tubuh pun boleh diperlihatkan, perempuan  harus mengenakan burqa yang menutup dari kepala hingga ujung kaki.

Taliban saat itu secara brutal mempraktikan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Pemerkosaan, penculikan, dan pernikahan anak secara paksa menjadi keseharian di Afghanistan di bawah kendali Taliban saat itu.

Warga Afghanistan yang memiliki putri mengorbankan harta bendanya hanya untuk mengirim anak perempuannya keluar dari Afghanistan agar bisa mendapatkan kehidupan normal seperti perempuan lain di muka bumi ini.

Aturan Taliban bagi perempuan kian tak masuk akal, sejak tahun 1998. Anak perempuan diatas usia 8 tahun tak boleh bersekolah, meskipun ada sebagian yang melakukan homescholling, tapi itu pun terkadang dilarang dan pelakunya dihukum sangat keras oleh otoritas Taliban.

Akibatnya jutaan perempuan Afghanistan tak memiliki kemampuan baca tulis yang memadai.

Untuk urusan kesehatan pun, perempuan hanya diberikan akses paling dasar, akibatnya kesehatan perempuan Afghanistan saat itu sangat rentan.

Dokter Pria hanya memperbolehkan memeriksa perempuan dengan kondisi pakaian tertutup, sehingga diagnosis yang dilakukan kadang tak optimal.

Pembatasan akses terhadap medis bagi perempuan ini mengakibatkan tingkat kematian ibu melahirkan di Afghanistan nomor satu di dunia, dari 100 ibu melahirkan 16 diantaranya meninggal dunia.

Alhasil kondisi ini membuat tingkat kematian bayi dan anak di Afghanistan pun menjadi sangat tinggi saat itu.

Menurut data dari organisasi PBB untuk menangani anak (UNICEF), Setiap 1000 bayi ada sekitar 165 bayi yang meninggal sebelum ulang tahun pertamanya.

Gabungan kurangnya pendidikan dan dibatasinya akses terhadap sektor kesehatan membuat kehidupan perempuan di Afghanistan saat itu sangat mengerikan.

Taliban seolah tak peduli dengan kesejahteraan rakyatnya terutama perempuan, saking tak pedulinya, karena rumah sakit yang kebanyakan di danai bantuan internasional dirasa mulai merongrong kewibawaan para Mullah mereka tak segan menyerbu dan melakuka  penyerangan terhadap rumah sakit.

Tindakan yang benar-benar diluar nalar sehat.

Di luar masalah pendidikan dan kesehatan, Taliban pun benar-benar membatasi ruang gerak perempuan secara ekstrem.

Seluruh rumah di Afghanistan harus mengecar jendela kacanya agar perempuan tak bisa melihat keluar dan terlihat dari luar.

Perempuan 100 persen diisolasi sedemikian rupa oleh Taliban, hanya untuk urusan-urusan sangat khusus mereka bisa keluar itu pun dengan menggunakan burqa yang sangat tebal dan menyesakan lantaran hanya membiarkan ada lubang kecil untuk bernafas serta harus disertai oleh muhrimnya, suami, saudara kandung, atau bapaknya.

Jika kedapatan berjalan dengan pria bukan muhrimnya,siap-siap saja cambuk 100 kali bakal mendera perempuan itu.

Jika perempuan tersebut sudah menikah dan ia kedapatan berjalan dengan pria lain, hukuman rajam hingga mati menanti.

Segala perhiasan pun dilarang, bahkan mengenakan kaos kaki putih pun dilarang, alas kaki yang digunakanpun tak boleh mengeluarkan bunyi, apalagi high heel. Perempuan harus berjalan dalam senyap.

Kondisi ini membuat meningkatnya masalah kesehatan mental perempuan-perempuan di Afghanistan.

Jumlah kasus depresi dan bunuh diri  perempuan meningkat tajam di Afghanistan saat itu.

Sejarah perlakukan Taliban terhadap prempuan seperti ini lah yang membuat komunitas internasional khawatir, dengan kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan.

Jika benar, Taliban belajar dari pengalamaan dimusuhi dan dikucilkan dunia  selama 20 tahun terkahir semestinya moderasi ideologis akan terjadi mereka terutama yang berkaitan dengan hak -hak perempuan.

Memang mereka mulai menunjukan gelagat ke arah moderasi, seperti yang ucapkan dalam konpers pertamanya di kabul.

Namun, tentu saja masyarakat dunia dan warga Afghanistan sendiri tak akan serta merta percaya dengan janji Taliban ini, mereka butuh waktu untuk membuktikan ucapannya.

Terlepas dari sakwasangka tersebut,  seperti yang diucapkan oleh Mantan Menkumham Hamid Awaludin yang pernah menjadi juru runding antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan dalam wawancara di Kompas TV Rabu (18/08/21) Pemimpin Taliban saat ini Abdul Ghani Baradar jauh lebih moderat dibanding Mullah Omar yang memimpin Taliban saat pertama mereka berkuasa.

Jadi harapan perbaikan bagi rakyat Afghanistan masih tetap ada, dan dunia kini menantikan dengan cemas apakah hak -hak perempuan akan terjamin bagi warga Afghanistan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun