Apakah preferensi penggunaan jilbab oleh Pinangki ini merupakan ekspresi kesalehan sebagai ungkapan rasa pertobatan atas laku lancungnya selama ini atau ia hanya ingin menyampaikan bahasa kesalehan tersebut agar mendapatkan hukuman yang lebih ringan.
Jilbab yang sejatinya dikenakan oleh wanita untuk menutup aurat agar pria tak tergoda, oleh Pinangki jilbab difungsikan sebagai alat untuk menggoda keputusan hukum.
Ia tahu betul bagaimana mengkomodifikasi penampilan lahiriah menjadi sebuah keuntungan baginya.
Pinangki dengan cerdik, membalikan mode penampilan ketika melakukan sejumlah laku lancung ia tak berjilbab, tetapi kemudian berjilbab sebagai sebuah simbol pertobatan.
Bagus jika Pinangki memang bertobat atas kesalahannya selama ini, tapi faktanya ketika telah mendapat diskon hukuman dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebesar 60 persen, dari sebelumnya 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara saja, jilbab yang ingin ia citrakan sebagai simbol pertobatan justru ia lepas.
Seperti yang terlihat dalam foto-foto yang dirilis oleh pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat saat akhirnya Pinangki dieksekusi ke Lapas Kelas IIA Tanggerang sebulan setelah kasusnya inkracht.
Seperti dilansir Kumparan.com, dalam foto-foto tersebut terlihat Pinangki tampak kembali ke asal, tak mengenakan jilbab seperti saat ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani persidangan.
ia mengenakan baju berlengan panjang hitam dengan rok panjang dibalut rompi berwarna pink dan rambutnya terurai persis seperti saat ia belum tersandung kasus.
Apakah dengan penampilan "kembali ke asal" menjadi simbol bahwa pertobatannya itu hanya omong kosong?
Sah saja dong jika saya menuliskan bahwa pertobatan Pinangki Sirna Malasari itu omong kosong, toh ia sendiri yang membangun citra kesalehan spiritual bersimbolkan jilbab sebagai bentuk rasa sesal terhadap laku koruptifnya.
Jadi ketika ia tak menggunakan simbol itu lagi, asumsinya penyesalan itu sudah tidak ada lagi, saat itu ia menyesal dan bertobat karena ia tertangkap.