Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Atletik Pilihan

Pelajaran bagi Zohri, Saat Lamont Jacobs Sprinter Italia Meraih Emas Lari 100m Olimpiade Tokyo 2020

2 Agustus 2021   06:02 Diperbarui: 2 Agustus 2021   06:03 2660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyaksikan babak final nomor lari pendek 100m putra  Olimpiade Tokyo 2020 di Olympic Stadium Tokyo melalui siaran langsung di salah satu stasiun televisi nasional sungguh sangat mencengangkan, bukan hanya  atraksi permainan hologram  yang dipertontonkan sesaat sebelum lomba dimulai yang sangat indah, tetapi juga hasil finalnya sangat mengejutkan.

Siapa sangka pelari asal Italia Lamont Marcel Jacobs mampu menjadi manusia tercepat di Olimpiade Tokyo 2020 dengan catatan waktu 9,80 detik, lebih cepat 0,04 dari pelari Amerika Serikat Fred Kelley yang berada diurutan kedua, Kelley sebelumnya digadang-gadang bakal menjadi perebut medali emas nomor lari 100m di Olimpiade Tokyo kali ini.

Namun Jacobs membalikan prediksi banyak pihak, berlari di jalur 2 ia melaju semakin cepat melewati Kelley yang semenjak start memimpin di 10 meter terakhir.

Catatan waktu 9,80 detik yang ditorehkan Jacobs saat merebut medali emas Olimpiade Tokyo ini merupakan rekor terbaik pribadinya, sebelumnya waktu terbaik yang ia miliki  9 84 detik.

Bagi Italia keberhasilan Jacobs ini merupakan sejarah, tak pernah ada pelari cepat Italia manapun yang mampu menjuarai nomor lari 100m Olimpiade sebelumnya.

Selepas peraih medali emas 3 Olimpiade berturut -turut sekaligus pemegang rekor Olimpiade dan dunia Usain Bolt memutuskan untuk gantung sepatu, memang tak ada sprinter yang dominan.

Makanya setiap pelari cepat yang memiliki catatan waktu terbaiknya untuk 100m di bawah 10 detik berpeluang meraih medali emas Olimpiade Tokyo, meskipun tetap saja pelari Italia tersebut tak masuk kandidat serius peraih medali emas.

Sepanjang sejarah Olimpiade untuk nomor sprint 100m ini menurut catatan Organisasi Atletik Internasional (IAAF) di dominasi oleh atlet dari Negeri Paman Sam dengan 25 medali emas.

Satu-satunya negara yang mampu bersaing dengan AS adalah Jamaika yang telah meraih 6 medali emas.

Menariknya, wakil Jamaika menjadi juara pada nomor lomba sprint 100 meter sejak Olimpiade 2008 hingga 2016. Tak tanggung-tanggung, medali emas tersebut diraih baik oleh wakil putra maupun putri.

Usain Bolt selaku wakil putra memecahkan rekor atlet tercepat sepanjang masa di Olimpiade, dengan catatan waktu 9,63 detik di London 2012. Rekor lain yang diciptakan Bolt adalah menjadi atlet pertama yang memenangkan medali emas Olimpiade pada nomor lomba sprint 100 meter sebanyak 3 kali secara beruntun.

Catatan ini memecahkan rekor milik atlet Amerika Serikat, Carl Lewis, yang sebelumnya memperoleh 2 emas beruntun pada Olimpiade 1984 dan 1988. Setelah memecahkan rekor tersebut, Bolt pensiun dan tidak akan berpartisipasi dalam Olimpiade Tokyo 2020.

Sebagai catatan, Usain Bolt juga memegang rekor dunia untuk lari 100m dengan catatan yang lebih tinggi daripada rekornya di Olimpiade. Bolt memiliki catatan 9,58 detik atau 0,05 detik lebih cepat dari waktunya di Olimpiade. Catatan itu diukir sang atlet dalam World Championships 2009 di Berlin.

Jelang dimulainya Olimpiade Tokyo, peringkat teratas dunia nomor lomba 100 meter putra versi IAAF saat ini dipegang oleh Justin Gatlin dari Amerika Serikat. Atlet berusia 39 tahun tersebut merupakan peraih medali peraih perunggu Olimpiade London 2012 dan perak pada Olimpiade Rio 2016.

Sayangnya Gatlin tak ikut berlaga di Olimpiade Tokyo, Tim Atletik AS lebih memilih Fred Kelley, Ronnie Baker, dan Tryvon Brommel yang mewakili negaranya di Olimpiade Tokyo 2020.

Keberhasilan Jacobs merebut emas Olimpiade Tokyo menjadi lembaran baru di nomor lari 100m, yang selama ini di dominasi oleh 2 negara tersebut.

Hal ini menjadikan persaingan di  nomor lari 100 menjadi lebih terbuka, apalagi kini jumlah pelari 100m yang menembus waktu di bawah 10 detik semakin banyak jumlahnya tidak lagi di dominasi AS dan Jamaika.

Seperti dilansir BBC.com, menurut penelitian lembaga terkemuka dalam studi ilmu olahraga di Univesitas Loughborough Inggris kombinasi teknologi dan metode latihan berdasarkan sains memiliki peran penting bagi para sprnter agar bisa berlari secepat itu.

Di sisi teknologi peralatan lari, sepatu yang digunakan para sprinter saat ini jauh lebih ringan dari tahun-tahun sebelumnya, bahkan beratnya  hanya 150 gram saja.

Salah satu contohnya adalah kolaborasi antara sepatu merek Puma dari Jerman dan tim Formula Satu Mercedes, yang menghasilkan sepatu sprint dengan sol yang terbuat dari serat karbon - bahan yang sama yang digunakan untuk mendesain mobil beberapa pembalap juara dunia Lewis Hamilton.

Lintasan lari juga telah berkembang pesat sejak atlet-atlet elite masa lampau berlari di permukaan tanah liat atau rumput dalam kompetisi.

Lintasan sintetis pertama kali digunakan dalam Olimpiade tahun 1968 di Meksiko, menawarkan perlindungan lebih pada sendi atlet dan memberikan efek loncatan yang akan menghasilkan waktu lebih cepat.

Pada pertandingan yang sama itulah sprinter AS Jim Hines menjadi manusia pertama yang melesat di trek sepanjang 100 meter dengan waktu 9,95 detik.

Dorongan untuk menciptakan lintasan yang menunjang sprinter berlari lebih cepat terus berkembang, seperti menggunakan butiran karet vulkanisir yang kini tengah dipertimbangkan.

Pada Olimpiade Beijing 2008, pembuat permukaan trek dari Italia Mondo merayakan lima rekor dunia yang tercipta di atas trek yang dipasoknya untuk kompetisi atletik, hampir sama seperti yang dilakukan para pelari.

Selain urusan teknologi hardware sebagai sarana penunjang, sains dalam hal pelatihan dan nutrisi bagi para atlet juga berperan cukup besar.

Pelari hari ini dapat dianalisis secara menyeluruh, dan penyesuaian dilakukan pada teknik dan waktu reaksi.

Penelitian bahkan telah mengidentifikasi otot mana yang lebih penting bagi sprinter untuk berhasil.

Menurut data dari World Athletic, sejak pertama kali manusia bisa berlari 100m dibawah 10 detik pada tahun 1968 hingga tahun 2008, hanya 67 sprinter yang mampu berada di "sub 10" 

Namun, dalam 10 tahun antara 2008 hingga 2018 ada 70 sprinter yang mampu berlari di bawah batas waktu 10 detik untuk 100m.

Dan dalam dua tahun terakhir hingga awal Juli 2021, terdapat 17 pria lagi yang masuk klub "sub-10" pertama mereka.

Dengan kombinasi teknologi dan sains dalam berlatih,  pelari Indonesia Lalu  Muhammad Zohri diyakini akan mampu menembus limit waktu dibawah 10 detik, saat ini rekor terbaik Zohri 10,03 detik yang diciptakan di Seri Golden Grandprix Osaka 2019 lalu.

Meskipun di Olimpiade Tokyo 2020 ini catatan waktunya hanya 10,26 detik sehingga tersingkir di babak penyisihan awal.

Namun, waktu masih berpihak padanya, usia Zohri saat ini baru 21 tahun, Olimpiade Paris 2024 masih 3 tahun lagi, pada saat itu usia Zohri 24 tahun, usia emas apalagi dibarengi dengan kombinasi teknologi dan sains dalam pelatihannya, terbuka kemungkinan Zohri akan menjadi seperti Lamont Muriel Jacobs yang menjuari nomor lari 100m Olimpiade Tokyo 2020, meski tak diperhitungkan sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Atletik Selengkapnya
Lihat Atletik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun