Masyarakat Indonesia kembali harus terbelah gara-gara sebuah persoalan, seolah apapun persoalan yang ada di bangsa ini harus disikapi dengan cara membelah diri seperti amuba berkembang biak.
Kali ini untuk kesekian kalinya masalah Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) membuat masyarakat Indonesia terbelah.
Setelah sebelumnya terkait revisi Undang-Undang KPK, saat ini yang menjadi pro kontra adalah urusan asesmen status kepegawaian karyawan KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang merupakan bagian dari seleksi ujian Aparatur Sipil Negara (ASN).
Alih status kepegawaian karyawan KPK ini merupakan amanat Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.Â
Aturan tersebut diteken Jokowi pada 24 Juli 2020 dan berlaku pada saat tanggal diundangkan yakni 27 Juli 2020.
Dalam Pasal 1 ayat 7 Â PP seperti yang saya kutip dari laman JDIH Sekretaris Negara disebutkan bahwa
 "Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ASN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangan-perundangan mengenai ASN"
Dalam PP 41/2020 ini, ruang lingkup pengalihan pegawai KPK menjadi ASN meliputi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap.
Terdapat sejumlah syarat dan tahapan terkait pengalihan status pegawai ini. Mulai dari penyesuaian jabatan hingga pemetaan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman pegawai KPK dengan jabatan ASN yang akan diduduki.
Nah, untuk mengimplementasikan aturan tersebut KPK kemudian melakukan sejumlah tes, kepada 1.351 pegawainya.
Sejumlah aspek  dalam tes ini menurut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron diantaranya terkait integritas, netralitas, dan antiradikalisme.
Tes wawasan kebangsaan yang merupakan salah satu bagian dari asesmen itulah kemudian menjadi pangkal masalah, lantaran 75 pegawai yang sebagian besar merupakan pegawai dan penyidik senior KPK dinyatakan tak lulus ujian alih status kepegawaian tersebut.
Salah satu pegawai yang tidak lolos menurut berbagai media daring adalah penyidik senior KPK yang sudah dikenal kehandalan dan integritasnya, Novel Baswedan.
Tidak lulusnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan ini kemudian menjadi bahan rumor yang menyebutkan ke-75 orang tersebut segera akan dipecat oleh KPK.
Namun rumor  pemecatan  yang telah ramai menjadi konsumsi publik itu dibantah oleh Sekretaris  Jenderal (Sekjen) KPK, Cahya H Harefa.
Cahya mengatakan bahwa KPK tak akan melakukan pemecatan terhadap 75 pegawainya yang tak lolos asesmen wawasan kebangsaan.
"KPK akan melakukan koordinasi dengan Kemenpan-RB dan BKN terkait tindak lanjut terhadap 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat," kata Cahya seperti dilansir Bisnis.com, Rabu (05/05/21).
Kondisi inilah kemudian memicu polemik ditengah masyarakat, sejumlah pengamat dan penggiat anti-korupsi menyebut bahwa ini merupakan rangkaian akhir dari upaya pelemahan KPK.
Mereka menganggap para pegawai senior KPK secara sengaja "disikat" melalui tes alih status pegawai menjadi ASN, dengan soal-soal pertanyaan yang dianggap sejumlah pihak janggal.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Fery Amsari menyatakan bahwa soal yang diberikan dalam tes tersebut janggal dan terkesan mengada-ada.
"Tes berisi hal yang janggal dan mengada-ada. Misalnya pertanyaan terkait FPI dan pendapat pegawai terhadap program pemerintah. padahal pegawai tidak boleh secara etis berurusan dengan perdebatan politik dan mereka tidak boleh menunjukkan dukungan atau tidak dukungan terhadap program-program pemerintah karena bisa saja program itu terkait kasus korupsi," kata Feri seperti dilansir Detik.com, Selasa (04/05/21).
Feri kemudian menyebutkan daftar pertanyaan yang ia anggap janggal, seperti yang diperolehnya dari salah satu pegawai KPK yang mengikuti tes tersebut.Â
Tes ini terbagi menjadi 2 bagian, untuk bagian pertama berupa pertanyaan yang memerlukan jawaban benar atau salah.
Pertanyaannya mulai UU ITE, hal-hal ghaib homoseksual, sampai dengan kebanggaan menjad warga negara Indonesia.
Bagian ke-2 berupa esai yang pertanyaannya mulai dari OPM, DI/TII,PKI, FPI,HTI, hingga tentang Rizieq Shihab.
Sebenarnya jika diamati sepertinya tes ini untuk mendeteksi apakah para pegawai KPK ini sudah terpapar paham-paham radikal.
Kita bisa memahami juga upaya ini, apalagi ada rumor yang beredar bahwa di KPK ada faksi yang berafiliasi dengan pihak-pihak beraliran keras.
Akan menjadi sangat berbahaya juga andai mereka benar terpapar radikalisme, penindakan korupsi bisa jadi akan menjadi senjata untuk menyikat siapaun yg dianggap lawan oleh mereka.
Meskipun demikian, jika menilik kinerja mereka selama ini, sebut saja misalnya Novel Baswedan cukup baik, berintegritas, dan sangat profesional saat melakukan penyelidikan dan penindakan aksi korupsi.
Di sisi lain banyak pihak juga yang mendukung upaya KPK melakukan asesmen ini bahkan mereka berharap ke 75 orang pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan dipecat saja.
Mereka beranggapan bahwa seluruh ASN itu harus memiliki kesetiaan dan kecintaan terhadap Tanah Air Indonesia.
Sebenarnya ini cukup menyedihkan karena narasi yang terbangun seolah menghadap-hadapkan antara kecintaan terhadap agama dengan kecintaan terhadap negara.
Padahal kecintaan terhadap agama dan negara itu seharusnya bisa saling beriringan dan melengkapi satu sama lain.Â
Berbagai persoalan di Indonesia pasca merebaknya penggunaan politik identitas dalam politik kekuasaan berawal dan berujung menghadap-hadapkan negara dan agama.
Jika terus dilanjutkan hal ini akan menjadi kontraproduktif bagi kemajuan bangsa dan negara ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H