Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Profesor Azyumardy Azra kedua krisis yang kemudian menyebabkan pelemahan fungsi dan kewenangan KPK tersebut karena revisi Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2020.
Azyumardy, mengatakan, staf-staf di KPK yang mempunyai integritas melihat bahwa perubahan status menjadi ASN dan apa yang terjadi di dalam seleksi komisioner serta di dalam revisi Undang-Undang KPK membuat mereka kehilangan harapan akan pemberantasan korupsi.
Atas dasar keyakinan bahwa revisi UU KPK itu melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sejumlah pihak termasuk para guru besar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, mendukung upaya judicial review UU KPK tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sayangnya, upaya itu tak dikabulkan sepenuhnya oleh MK, seperti yang tertuang dalam putusan yang dikeluarkan MK terkait uji materi tersebut Selasa (04/05/21) kemarin.
Alhasil UU KPK hasil revisi masih tetap menjadi dasar operasional KPK.
Majelis Hakim MK, hanya mengabulkan sebagian materi yang diuji yakni  Pasal 12B, Pasal 37B ayat 1 huruf B, dan Pasal 47 ayat 2 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal ini lebih banyak mengatur kewenangan Dewan Pengawas KPK, antara lain:
Pasal 12B mengenai penyadapan, MK menyatakan KPK tidak lagi harus izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.
Pasal 37B ayat 1 huruf B tentang tugas Dewan Pengawas. MK mencabut kewenangan Dewan Pengawas dalam memberi izin atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan.
Pasal 47 ayat 2 tentang izin tertulis terhadap permintaan dari KPK. Pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional.
Sengkarut bertambah mbulet kala KPK kemudian mengeluarkan penghentian kasus BLBI Syamsul Nursalim melalui mekanisme SP3, kewenangan baru yang dimiliki KPK, setelah UU KPK hasil revisi diberlakukan.
Hal ini seolah menegaskan bahwa UU KPK hasil revisi menjadi momok bagi KPK yang terlihat secara nyata dalam bebereapa masalah tersebut.Â