Pembangunan TMII ini melibatkan semua gubernur di seluruh provinsi di Indonesia, dan berbagai pihak lain terutama untuk urusan biaya pembangunannya.
Pemerintah Provinsi  dibebani 16 persen biaya pembangunan TMII secara urunan. Pihak YHK menanggung 25 persen biaya. Kemudian investor swasta sebesar 45 persen, dan sisanya pihak lain harus menanggung sekitar 14 persen.
Seiring berjalannya waktu, Keluarga Soeharto dalam mengelola TMII seperti mengelola aset milik mereka sendiri. Museum Purna Bhakti yang diantaranya berisi barang-barang cendermata dari para pemimpin dunia saat Soeharto berkuasa ia simpan dan pajang disitu, mereka bangun sebagai sebuah penghormatan untuk Soeharto dan Istri.
Selepas Soeharto tumbang, dan Yayasan-Yayasan tersebut mulai dipersoalkan untuk kemudian diambil alih oleh negara.
TMII merupakan salah satu aset yang pertama diambil oleh negara, selain Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dan Rumah Sakit Khusus Kanker Dharmais.
Meskipun khusus TMII pengelolaannya masih dipegang oleh YHK dan anak-anak Soeharto. Tetapi kemampuan pengelolaannya terus menurun, bahkan pada tahun 2018 pengelola TMII sempat kesulitan keuangan.
Mereka disebutkan tak mampu membayar pajak, sehingga Pemerintah Kota Jakarta Timur memasang tiga plang dikawasan TMII Â yang menyatakan objek pajak tersebut belum melunasi tagihan pajak.
Padahal pengunjung TMII tak pernah habis dan merupakan lokasi wisata favorit di Jakarta. Jelas ada kesalahan pengelolaan disitu.
Namun.kemudian masalah ini berhasil diatasi juga meskipun konon katanya ada bantuan dari pemerintah.
Ya akhirnya, karena tak menunjukan perbaikan pengelolaan Pemerintah Pusat Lewat Peraturan Presiden nomor 19 tahun 2021, pengelolaan TMII diambil alih Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg) dari YHK.
Kemudian pemerintah memberi waktu 3 bulan kepada YHK untuk menyelesaikan proses adminitrasi pengambilalihan tersebut.