Sekali ditetapkan tersangka oleh KPK maka para koruptor akan menerima ganjarannya, paling tidak sudah dipastikan mereka akan diadili.
Sementara di sisi lain, pihak lain menyebutkan KPK tanpa kewenangan SP3 ini berpotensi melanggar hak azasi manusia.
Karena terkadang KPK menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa kejelasan kapan kasus yang mentersangkakannya tersebut akan diproses. Jadi yang penting tersangkakan dulu.
Menjadi tersangka KPK itu tentu saja akan menjadi stigma buruk bagi yang bersangkutan dan akan menjadi beban yang sangat berat bagi dirinya dan keluarganya, apalagi tanpa kejelasan kasusnya.
Seperti misalnya kasus mantan Dirut Pelindo R.J. Lino 5 tahun setelah ditetapkan tersangka, kasusnya baru bergerak lagi beberapa hari yang lalu dan kini ia telah ditahan KPK.
Menunggu 5 tahun dengan status tersangka itu tentu saja sangat menyiksa dirinya serta keluarganya. Menunggu tanpa kepastian itu kan sangat menyakitkan.
Nah, untuk menghindari hal seperti ini lah yang menjadi dasar kewenangan SP3 diberikan pada KPK dalam revisi UU KPK.
Namun tentu saja dalam pelaksanaannya, penyidik dan pimpinan KPK harus berkonsultasi dahulu dengan Dewas KPK yang akan melakukan assesment mendalam terlebih dahulu sebelum mengijinkan atau menolak penerbitan SP3 dalam sebuah kasus.
Sjamsul dan Itjih Nursalim sendiri telah dinyatakan buron oleh sejak tahun 2019, belakangan mereka bersama Harun Masiku merupakan buronan yang paling dicari KPK.
Keduanya dinyatakan buron setelah dua kali mangkir dari pemanggilan penyidik KPK. Saat itu KPK mengirim surat penggilan sebanyak 2 kali ke dua alamat yang berbeda di Jakarta dan Singapura.
Meskipun dalam status buron, Sjamsul masih merupakan "Grazy Rich Indonesia," menurut majalah Forbes ia termasuk 50 besar orang terkaya di Indonesia pada tahun 2020.