Di tengah keriuhan kasus terorisme, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Â untuk pertama kali sepanjang sejarah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) untuk dua tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
Alasan KPK menerbitkan SP3 terhadap 2 orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) tersebut adalah demi kepastian hukum.
"Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK, yaitu 'Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas Kepastian Hukum'," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, seperti dilansir Kompas.com, Kamis (01/04/21).
Kerugian negara dalam kasus korupsi BLBI yang melibatkan 2 orang pemegang saham pengendali eks Bank Dagang Negara Indonesia(BDNI) tersebut mencapai Rp. 4,6 triliun.
BDNI sendiri merupakan obligor dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Â sebuah lembaga ad hoc yang dibentuk negara untuk menangani bank-bank bermasalah saat krisis moneter 1998 lalu.
Dalam perkara ini selain melibatkan Sjamsul dan Itjih juga menyeret Ketua BPPN saat itu Syafrudin Arsyad Tumenggung menjadi terdakwa dan di pengadilan tindak pidana korupsi ia sudah divonis 13 tahun penjara.
Tak puas dengan keputusan tersebut Syafrudin kemudian mengajukan banding ke Pengadilan yang lebih tinggi, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan tingkat pertama dengan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, atas tuduhan mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) Â BLBI Sjamsul dan Itjih tidak sesuai prosedur seperti temuan Badan Pengawas Keuangan (BPK).
Namun di tingkat Kasasi Mahkamah Agung (MA) Syafrudin Tumenggung dibebaskan atas segala tuduhan tersebut.
KPK kemudian sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) tetapi gagal. Syafrudin tetap dinyatakan tak bersalah atas kasus BLBI yang juga melibatkan Syamsul dan Itjih Nursalim tersebut.
Atas dasar putusan MA itulah sehingga tak ada unsur penyelenggara negara yang menjadi syarat dalam perkara tersebut, menjadi tidak terpenuhi.
Maka KPK akhirnya merasa harus menerbitkan SP3 kepada suami istri pemilik perusahaan konglomerasi Gadjah Tunggal Grup ini.