Duka cinta mendalam bagi Jemaat Gereja Katedral Makasar dan seluruh umat Katolik atas ledakan bom yang menewaskan 2 orang pelakunya dan mencederai 20 petugas dan Jemaat Gereja.
Minggu pagi, 29 Maret 2021 peristiwa terorisme bom bunuh diri kembali terjadi di Indonesia, kali ini menyasar Gereja Katedral di pusat Kota Makasar Sulawesi Selatan.
Selepas kejadian semua pihak mengecam terjadinya aksi terorisme tersebut. Â Presiden Jokowi langsung mengecam peristiwa tersebut. Ia menyatakan bahwa aksi terorisme itu tak ada kaitannya dengan agama apapun.
"Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Semua ajaran agama menolak terorisme apapun alasannya," kata Presiden Jokowi, seperti dilansir Kompas.com Minggu (28/03/21).
Kemudian Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar  Abbas menyatakan hal serupa, ia meminta masyarakat untuk tak mengaitkan teror bom di Makasar tersebut dengan agama.
"MUI meminta supaya masalah ini jangan dikait-kaitkan dengan agama atau suku tertentu di negeri ini karena hal demikian akan semakin membuat keruh suasana," katanya seperti dilansir Jawa Pos.
Pernyataan agak berbeda diucapkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, ia hanya menyatakan bahwa agama apapun tak membenarkan aksi terorisme seperti yang terjadi di Gereja Katedral di Makasar tersebut.
"Saya mengutuk keras. Apapun motifnya, aksi ini tidak dibenarkan agama karena dampaknya tidak hanya pada diri sendiri juga sangat merugikan orang lain," ujar Yaqut, seperti dilansir Kompas.com.
Pun demikian dengan Ketua Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Â Jusuf Kalla, pernyataan dirinya hampir senada dengan Yaqut, ia menyebutkan bahwa semua agama tanpa terkecuali tak membenarkan aksi-aksi terorisme.
"Kita tidak bisa mentoleransi segala bentuk teror karena dalam agama apa pun tindakan itu tidak dibenarkan" ucapnya.
Ketika Jokowi  dan Anwar Abbas mengucapkan hal tersebut diatas bahwa terorisme itu tak ada sangkut pautnya dengan agama tertentu, dalam pemahaman saya keduanya  berusaha menenangkan warganya agar tak terprovokasi sehingga aksi teror  di Makasar tak memicu eskalasi politik dan keamanan di Indonesia.
Selain itu, kata terorisme tak terkait agama itu menjadi penting agar kelompok yang sangat kecil ini tidak terjustifikasi.
Kita pun tahu persis dan sangat yakin mayoritas Muslim di Indonesia dengan sangat jelas menolak aksi terorisme, serangan berdalih jihad dikelompok kecil ini harus "dibuat terasing" dari populasi.
Karena jika kita atau narasi pemerintah seolah mengakui bingkai bahwa agama merupakan landasan terorisme terjadi, maka tujuan teroris untuk menimbulkan konflik horizontal berhasil.
Lantaran perdebatan akan sangat keras terjadi dimasyarakat, apalagi residu polarisasi masa kontestasi politik masih terasa hingga saat ini  politik sangat potensial bergejolak hingga mungkin saja berujung rusuh.
Sayangnya "penyangkalan" di media oleh Presiden Jokowi dan sejumlah pihak, kurang dibarengi dengan upaya deradikalisasi yang benar-benar mampu menyembuhkan mereka yang terpapar radikalisme.
Hal itu terjadi karena banyak faktor, salah satunya karena kelompok-kelompok Islam kanan tak banyak membantu upaya deradikalisasi tersebut, padahal peran mereka bisa jadi sangat besar agar mereka yang terpapar tersentuh hatinya dan bisa kembali "ke jalan yang benar"
Mereka bahkan sibuk terjebak dalam teori konspirasi yang menyebutkan bahwa upaya pemberantasan teroris itu merupakan sebuah proyek yang sengaja diciptakan pihak aparat keamanan. Padahal faktanya teroris itu memang benar ada.
Pihak aparat keamanan dalam hal ini Polri dalam perkembangan kasus terorisme di Makasar telah melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan memeriksa DNA tubuh pelaku yang tewas dalam aksi teror itu, mereka memastikan bahwa kedua pelaku itu merupakan bagian dari jaringan Ansharut Daulah (JAT)
"Kelompok ini tergabung dengan kelompok yang pernah melakukan kegiatan operasi di Jolo, Filipina tahun 2018," ujar Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Seperti dilansir Kompas.com.
Kita semua tahu JAT itu merupakan gerakan teroris yang faktanya memiliki afiliasi dengan agama Islam, itu fakta yang tak terbantahkan.
Apakah kemudian Islam memang menganjurkan untuk melakukan aksi terkutuk itu, Â ya tentu saja tidak, Islam itu agama Rahman dan Rahim, agama penuh kasih sayang.
Bahkan Islam itu merupakan agama Rahmatan lil Alamin, agama yang memberi rahmat, kebaikan, dan  keteduhan bagi sekalian alam dan mahkluk yang berada di dalamnya.
Jadi seperti halnya agama lain aksi terorisme itu tak bisa dibenarkan oleh agama Islam, jika kemudian aksi mereka mengatasnamakan agama itu lantaran pemahaman mereka dalam beragama itu salah.
Meskipun kita pun tahu ekstremisme itu selalu ada dalam agama apapun, dan biasanya akan tumbuh manakala mereka bagian dari mayoritas.
Namun faktanya, kelompok ekstrimis atau radikalis itu sebenarnya sangat kecil, makanya mereka membutuhkan tindakan-tindakan "caper" seperti bom bunuh diri yang terjadi di Makasar.
Mengapa ekstrimisme dan radikalisme itu bisa terjadi awalnya karena adanya intoleransi. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi.
"Intoleransi itu lah yang membentuk radikalisme, kalau sudah terbentuk radikalisme, terbentuklah ekstrimisme, kalau ekstrimisme yang terbentuk kemudian berbentuk terorisme pada tataran terakhir nantinya, ini yang harus kita pahami dulu," ujarnya.
Makanya sikap intoleran itulah yang sedari awal harus dilawan, jika mereka yang toleran kemudian membiarkan saja intoleransi itu terjadi sama saja membuka pintu gerbang terhadap berbagai aksi-aksi terorisme seperti yang terjadi di Makassar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H