Drama Partai Demokrat ini sungguh sangat lebay saya kira, kedua belah pihak seperti tengah memperebutkan pepesan yang sudah mulai kehilangan isinya dan entah masih berpotensi terisi lagi atau justru menjadi kosong alias sekedar lolos Parliamentery Treshold saja tidak.
Merujuk ucapan Profesor.DR Salim Said seorang pakar politik senior dari Universitas Pertahanan Indonesia, dalam perbincangannya dengan Karni Ilyas di laman Youtube @ KarniilyasClub .Â
Partai Demokrat itu siapa pun pengurus dan pemimpinnya tak akan banyak berpengaruh terhadap peta perpolitikan nasional, baik itu PD versi Cikeas maupun PD versi KLB Moeldoko.
"Demokrat itu sudah on the way to exit," ujar Salim.
Masuk akal juga pernyataan dari Prof Salim ini, karena jika dicermati, porsi suara PD dalam pemilu sejak mereka menangkan tahun 2009 terus mengalami kemorosotan.
Menurut data dari KPU.go.id, Saat PD memenangkan pemilu2009, perolehan suaranya sebesar 20,85 persen dan meraih lebih dari 140 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mereka saat itu sangat dominan di Senayan.
Sebelumnya, pada pemilu 2004 saat itu PD baru lahir sudah berhasil meraup suara sebanyak 7,45 persen, hanya kalah dari PKB, PDIP, dan pemenang Pemilu saat itu Golkar
Namun pada Pemilu 2014 perolehan suara PD terjun bebas hingga setengahnya, tinggal 10,19 persen. Setelah badai korupsi menghantam para petinggi demokrat pada saat mereka memerintah.
Di Pemilu terakhir tahun 2019, suara yang didapatkan Demokrat makin merosot jadi tinggal, 7,7 persen. Trend perolehan suara PD kian merosot, hal ini disebabkan karena beberapa faktor selain karena laku lancung korupsi para kadernya saat PD berkuasa.
Salah satunya karena PD terlalu berkutat pada sosok figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mendongkrak suara mereka.
Ketika SBY sudah tak berkuasa dan popularitasnya mulai memudarkan, otomatis suara mereka pun ikut melorot secara konstan.
Para kadernya tak berhasil membangun karakter Demokrat  yang memiliki ciri khas tersendiri, sehingga menjadi pembeda agar menarik dipilih rakyat Indonesia.
Pemilihan Agus Harimurty Yudhoyono(AHY) sebagai Ketua Umum PD yang hanya menjual kemudaan dan tampang pun tak memberikan apapun terhadap elektabilitas Demokrat.
Apalagi kemudian kisruh muncul setelah isu "Kudeta" menguar ke ruang publik lantaran AHY terlihat benar tak mampu mengelola konflik di internal partainya.
Meskipun sebenarnya konflik ini timbul akibat SBY ketika memimpin PD, banyak menyingkirkan senior -senior yang menjadi pihak yang berkeringat ketika partai berlogo mercy ini didirikan.
Akibatnya muncullah faksi-faksi di dalam internal tubuh partai yang lantas menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat.
Sekurang-kurangnya ada 4 faksi yang ada di dalam tubuh PD, hal ini lah sebenarnya menjadi pangkal masalah kisruh yang terjadi di Demokrat saat ini.
Jika mengacu pada ucapan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menolak  ketika ditawari untuk memimpin Kongres Luar Biasa untuk mengambil alih kepemimpinan AHY oleh mereka yang pernah mendirikan Demokrat lantas kemudian tersingkirkan dari lingkaran dalam partai dan itu benar adanya.
Yang kemudian tawaran ini diterima oleh Kepala Staf Presiden Jendral TNI Moeldoko, jelaslah bahwa gonjang-ganjing yang terjadi di Demokrat saat ini bermula dari pihak internal, dan bisa disebut sebagai konflik internal seperti yang disebutkan oleh Jokowi.
Kekisruhan ini bisa naik kepermukaan dan menjadi isu nasional seolah demokrasi di Indonesia terancam, menurut pengamatan saya dipicu oleh upaya pansos AHY dan para sekondannya untuk kembali menjadikan PD menjadi bahan pembicaraan publik.
Salah satu upaya pansos itu dengan cara menyurati Jokowi dan kemudian membangun narasi bahwa pihak Istana lah yang berada di balik semua kisruh ini.
Apalagi kemudian Moeldoko seperti mengkonfirmasi narasi tersebut dengan menerima tawaran untuk menjadi Ketum PD Â tandingan atau bahkan ikut merancang terjadinya Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat di Sibolangit Sumatera Utara.
Demokrat versi AHY seperti mendapat panggung dengan adanya Demokrat versi  KLB ini, mereka merespon begitu rupa seolah dunia ini mau kiamat besok.
SBY dengan gesturnya yang khas, ekspresi sendu yang diwarnai kantung mata yang terlihat agak bengkak karena kurang tidur, serta telapak tangan yang diletakkan di dada area sekitar jantung berdetak.
Mengiri ungkapan kemarahannya pada "KSP Moeldoko" karena berani-beraninya mengkudeta kepemimpinan his beloved son AHY.
Terlihat benar ia tengah membangun citra, bahwa dirinya dan Klan Yudhoyono beserta para antek-anteknya tengah didzalami oleh pihak yang lebih berkuasa.
Padahal sebetulnya, kita pun tak pernah tahu secara pasti manfaat dan tujuan "kudeta" ini bagi Moeldoko atau seperti yang diucapkan banyak pihak di PD versi Cikeas bagi kekuasaan Jokowi.
Menurut Prof Salim, kans Moeldoko untuk menjadi Presiden Indonesia dalam pemilu 2024 itu sangat kecil apapun upayanya.
Secara politik Moeldoko tak memiliki cantelan kemanapun, pengalaman di dunia politik pun nyaris nol, meskipun katanya ia pun pernah di Partai Hanura atau coba mendekati Golkar seperti diklaim Jusuf Kalla.
Diluar itu semenjak reformasi, tak ada satu pun mantan Panglima TNI yang mampu menjadi Presiden. Jadi klaim kubu PD versi Cikeas bahwa Moeldoko mengambil alih PD untuk dijadikan kendaraannya menuju RI 1, bisa disebut tak valid.
Jika pun benar ambisi Moeldoko itu, kenapa harus Demokrat?
Posisi PD dengan perolehan suara dalam pemilu 2019 lalu hanya 7,7 persen tak akan mampu membawa Moeldoko kemanapun.Â
Apalagi dalam survey terbaru Litbang Kompas yang diadakan pada 27 Desember 2020 hingga 9 Januari 2021 dengan melibatkan 2.000 responden yang dipilih secara acak di 34 provinsi. Tingkat kepercayaan survei 95 persen dengan margin of error 2,83 persen, elektabilitas Demokrat  4,6 persen saja.
Demikian pula  survey terbaru yang dirilis LSI, Elektabilitas PD hanya 5,4 persen tak jauh dari hasil survey Litbang Kompas.
Untuk sekedar lolos ke Senayan saja pada Pemilu 2024 Demokrat itu harus bekerja setengah mati, terlebih setelah kisruh ini ya sangat mungkin 2024 nanti nama Demokrat tak akan ada lagi di Senayan.
Jadi saya rasa kisruh di Demokrat yang ditanggapi begitu heboh ini bisa disebut lebay jika menakar elektabilitas yang begitu mungil itu.
Apapun yang terjadi pada Demokrat, siapapun yang menang dan dianggap pengurus yang sah Partai Demokrat AHY atau Moeldoko tak akan mengganggu konstelasi politik nasional.
Dan benar, seperti yang diucapkan oleh Prof Salim Said bahwa gonjang ganjing Demokrat ini seperti memperebutkan "pepesan kosong".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H