Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penangkapan Nurdin Abdullah Sinyal Bahaya bagi PDIP, Berkacalah Pada Partai Demokrat.

2 Maret 2021   09:21 Diperbarui: 2 Maret 2021   10:01 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penangkapan dan penetapan tersangka Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan tindak pidana suap senilai Rp.5,4 milyar hari Sabtu (26/02/21) kemari, membuat kita miris.

Sosok Nurdin dikenal sebagai seorang Kepala Daerah modern yang inovatif, memiliki visi kepemimpinan yang cemerlang, egaliter dan yang paling penting komitmennya terhadap pemberantasan korupsi sangat tinggi.

Komitmennya terhadap korupsi itu diakui oleh beberapa lembaga anti korupsi termasuk oleh KPK, Nurdin adalah salah satu penerima Bung Hatta Anti-Coruption Award 2017.

KPK pun memberi penghargaan serupa, bahkan 2 bulan terakhir Nurdin diajak KPK untuk membangun pedoman pelaksanaan lelang proyek pemerintah yang berada di bawah Rp.50 juta.

Karir politik Nurdin sebenarnya belum terlalu lama, ia sebelumnya dikenal sebagai seorang akademisi, pengajar dan peneliti di almamaternya Universitas Hasanudin.

Ia Bupati pertama di Indonesia yang memiliki gelar Profesor saat dirinya memimpin Kabupaten Bantaeng selama 2 periode.

Karir politik Nurdin Abdullah ini dimulai dari saat dirinya mencoba mencalonkan diri sebagai Bupati Bantaeng dalam Pilkada 2008, ia awalnya menjadi calon independen, tapi karena PKS melihat potensi Nurdin maka diusunglah Nurdin oleh mereka.

Setelah kinerjanya dianggap berhasil, berbondong-bondonglah parpol mendukung Nurdin untuk periodenya yang kedua di Pilkada Bantaeng 2013, termasuk PDIP.

Hingga Nurdin kemudian dicalonkan menjadi Gubernut Sulsel dalam Pilkada 2018, PDIP lah yang menjadi pengusung utamanya.

Dan menurut politikus PDIP Trimedya Panjaitan Nurdin Abdullah adalah Kader PDIP.

"Betul dia kader PDI Perjuangan," kata anggota Komisi III DPR RI Sabtu (27/02/21).

Makanya tak heran jika Nurdin Abdullah di asosiasikan dengan PDIP, karena ia memang kader PDIP meskipun menurut Nurdin ia belum memiliki KTA.

"Belum ada KTA-nya. Bajunya sudah merah, kan almamater Unhas juga merah. Tapi belum ada lambang banteng. Kita kerja aja dulu," kata Nurdin Abdullah beberapa waktu lalu, seperti yang dilansir Tribunnews.com.

Nah, inilah yang berpotensi menjadi masalah bagi PDIP, Kasus dugaan korupsi Nurdin ini seharusnya ditangkap sebagai sinyal bahaya oleh PDIP.

Sepanjang 6 bulan terakhir ini, ada 5 orang kader PDIP yang dicokok KPK atas dugaan tindakan pidana korupsi.

Pertama, Andreu Misantamerupakan mantan calon legislatif PDIP. Andreu juga dikenal sebagai salah satu eks Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

Diketahui bahwa ia menyerahkan diri ke KPK karena diduga terlibat dalam praktik suap eksportasi benih lobster alias Benur.

Kedua, Wenny Bukamo mantan Bupati Banggai Laut, dicokok KPK lantaran kasus suap sejumlah proyek di Kabupaten yang dipimpinnya tersebut.

Ketiga, Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial yang diduga menerima suap untuk pengadaan barang untuk kebutuhan bansos Covid-19.

Ada kemungkinan kasus ini meluas dan berpotensi menambah jumlah kader PDIP yang terlibat dalam kasus bansos ini.

Keempat Walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna yang diduga terlibat kasus suap pembangunan rumah sakit di Cimahi.

Dan terakhir ya, Nurdin Abdullah ini atas kasus suap proyek di Pemprov Sulsel.

Semua pejabat negara tersebut merupakan kader PDIP, "The Ruler Party" yang tengah berkuasa di Indonesia. Kondisi yang sangat buruk bagi PDIP.

Bila dibiarkan terus terjadi citranya akan terus memburuk bahkan bisa saja ditinggalkan para pemilihnya, seperti yang terjadi pada Partai Demokrat selepas Susilo Bambang Yudhoyono tak berkuasa lagi.

Mungkin kita masih ingat bagaimana rombongan petinggi PD secara bergantian menjadi pesakitan di tahanan KPK.

Mulai dari Sutan Batoeghana, Ketum PD saat itu Anas Urbaningrum, Nazarudin, Angela Sondakh hingga Andi Mallarangeng dan beberapa kader lainnya hatus mendekam di penjara bahkan hingga saat ini.

Karena kasus korupsi lah, perolehan suara PD dalam 2 pemilu terakhir terus tergerus hingga mendekati gurem.

Jika PDIP tak segera berbenah dan terus saja kader-kadernya yang memegang jabatan ditangkapi penegak hukum karena kasus korupsi, bukan tidak mungkin nasibnya akan seperti PD, nyungsep.

Meskipun kondisinya tak akan separah Demokrat, tapi paling tidak PDIP harus menyerahkan predikat pemenang pemilu pada partai lain.

Apalagi dalam pemilu 2024 nanti, PDIP tak memiliki sosok seperti "Jokowi" yang mampu mengerek suara PDIP menjadi pemenang Pemilu seperti 2 periode terakhir.

Namun demikian, saya tak akan pernah menyebutkan bahwa PDIP sarang koruptor seperti yang diungkapkan pihak oposisi, lantaran jika diamati secara seksama banyak kader PDIP yang terlibat korupsi lantaran PDIP sedang berkuasa dan jabatan publik banyak diduduki para kadernya dan itu alamiah saja seperti halnya Demokrat saat berkuasa.

Tetapi bukan berarti itu excuse yang dapat membenarkan tindakan korupsi itu. Tetap saja seharusnya apapun kondisinya korupsi tidak dilakukan oleh siapapun termasuk oleh pihak yang tengah berkuasa.

Untuk itulah makanya PDIP harus benar-benar membina atau mengingatkan terus kadernya agar tak terlibat dalam upaya menggangsir uang negara.

Mungkin salah satu yang bisa dilakukan adalah menekan biaya politik menjadi sekecil mungkin, toh ia tengah berkuasa dan dimungkinkan untuk mengubah sistem politik yang ada menjadi lebih ekonomis.

Karena harus kita sadari biaya politik saat ini sangat mahal, dan sangat berpotensi menimbulkan lingkaran setan korupsi yang tak berkesudahan.

Mungkin bisa dimulai dengan menghilangkan mahar bagi siapapun yang berminat menjadi calon pejabat publik.

Selain itu, hilangkan tekanan pada pejabat publik yang berasal dari kadernya untuk membiayai kegiatan partainya seperti yang selama ini lazim terjadi.

Karena tekanan inilah yang terkadang seperti menjadi sebuah kewajiban bagi pejabat bersangkutan menyediakan dana yang bisa saja sebenarnya ia tak mampu tanggung, sehingga untuk memenuhinya ia harus melakukan korupsi dengan memainkan kewenangannya.

Di luar itu ada baiknya juga sosialisasikan gaya hidup sederhana yang tak mengunbar kemewahan. Selama ini kita menganggap wajar atau bahkan sebuah keharusan bahwa pejabat publik itu harus bermobil mewah misalnya.

Jika semua kelaziman yang salah itu tak dirubah, korupsi pejabat publik akan terus terjadi. Sudah waktunya kita lebih menghargai pejabat melalui kinerjanya bukan dengan gaya hidupnya.

Kasus Nurdin Abdullah ini, jelas menunjukan hal itu. Bagaimana orang yang selama ini dianggap baik dan anti korupsi karena sistemnya busuk membawanya pada jurang laku lancung koruptif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun