Untuk itu sejumlah pihak tetap ingin memaksakan dan menambahkan satu poin dalam SKB 3 menteri itu, agar sekolah mewajibkan penggunaan atribut keagamaan sesuai keyakinannya masing-masing atas persetujuan komite sekolah dan orang tua murid.
Artinya masing-masing  sekolah negeri memiliki otoritas untuk memaksa siswi muslim untuk menggunakan jilbab, jika itu dilakukan SKB itu tak ada artinya sama sekali.
Padahal pihak lain menyebutkan bahwa jilbab ini urusan khilafiyah yang artinya dikalangan muslim sendiri perkara jilbab ini tak satu suara ada yang mewajibkan ada pula yang tidak.
Dengan demikian sependek pengetahuan saya, negara tak memiliki hak untuk mengaturnya, itu urusan privat atau individu masing-masing. Jangan lupa yang diatur ini sekolah negeri yang muridnya heterogen.
Dinamika berjilbab di Indonesia mempunyai perjalanan panjang dan kompleks. Kuasa negara, perlawanan masyarakat, dan industrialisasi mengambil peran penting dalam dinamika tersebut.
Sekolah negeri sebagai arena bertemunya  ras, etnis, status sosial, dan agama kerap kali menjadi arena pertarungan identitas.
Perdebatan kerap hadir dipicu upaya pihak tertentu untuk memaksakan penggunaan jilbab seperti yang terjadi saat ini padahal mungkin saja siswi tersebut tak merasa menjadi bagian dari pemilik atribut itu meskipun dirinya bagian dari muslim.
Dan sikap itu sah-sah saja sebenarnya, kita tahu sebagian ulama fiqih tidak mewajibkan bagi seorang muslimah untuk mengenakan jilbab.
Bagi muslimah yang diwajibkan adalah berpakaian pantas dan sopan atau dalam bahasa agama disebut ma'ruf sesuai dengan budaya masyarakat disekitar kita.
Memaksakan atau mewajibkan pemakaian jilbab terhadap seseorang berpotensi melanggar kebebasan individu manusia yang sangat dihargai Al Quran.
Jika pemaksaan ini kemudian dikaitkan dengan usia peserta didik yang masih dalam tahap pendisplinan agar memiliki pribadi yang lebih baik, ranahnya ada ditangan orang tua yang bersangkutan, bukan di sekolah negeri yang dibiayai oleh negara.