Hari-hari terakhir ini sepertinya merupakan masa paling sulit bagi Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam (FPI) semenjak organisasi masa ini didirikan 22 tahun lalu, mereka seperti mengalami mimpi buruk yang tak berkesudahan, yang mengancam eksistensi mereka.
Sejak didirikan 17 Agustus 1998, Front Pembela Islam (FPI) dan Rizieq Shihab berulang kali terlibat banyak sekali masalah dalam beragam intensitas, namun entah kenapa mereka selalu terlindungi, sehingga bisa lepas dari kesulitan yang mereka timbulkan seolah hukum dan perundangan yang ada di Indonesia tak berlaku bagi mereka.
Di awal pendiriannya saja menurut buku berjudul Premanisme Politik yang merupakan hasil riset dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Â FPI terlibat dalam 3 peristiwa besar di Jakarta yang memiliki dampak secara nasional.
Peristiwa tersebut ialah kerusuhan Ketapang  pada bulan November 1998, Sidang Umum MPR dan pembentukan Pam Swakarsa, dan saat ribuan anggota FPI menggeruduk Balai Kota DKI Jakarta untuk menemui Gubernur DKI saat itu Sutiyoso dalam rangka menuntut penutupan berbagai tempat yang dianggap maksiat oleh mereka, dan itu sukses mereka lakukan setelah kemudian Sutiyoso meninjau ulang seluruh jam kegiatan operasi tempat-tempat yang dianggap sarang kemaksiatan tersebut.
Dalam buku tersebut juga dituliskan bahwa, di masa awal inilah FPI membangun citra dan kedekatan dengan orang-orang dekat Soeharto dan kalangan militer sehingga segala geraknya seolah terlindungi.
Kondisi ini kemudian ditambah dengan metode pendekatan yang dilakukan oleh mereka dengan cara memberi dukungan-dukungan kepada kubu tertentu yang memiliki pengaruh politik.
Hal ini mereka lakukan sebagai bagian dari cara FPI untuk masuk ke dalam politik praktis. Meskipun FPI atau tokoh-tokohnya tidak terjun langsung menjadi politikus, namun kedekatan dengan aktor-aktor politik sangat berguna khususnya untuk melindungi sepak-terjang FPI yang seringkali melanggar hukum.
Nah mungkin ini jawaban dari pertanyaan mengapa FPI seolah memiliki kekebalan terhadap hukum yang berlaku.
Sepanjang FPI berdiri, secara institusional FPI tak pernah dihukum apapun hanya kejadian-kejadian sporadis tak terlalu besar yang berhasil mendapatkan putusan pengadilan yang menghukum anggota-anggota FPI termasuk sang Imam Besar Rizieq yang dua kali sempat mencicipi dinginnya ubin bui pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Tapi eksistensi FPI sebagai sebuah organisasi tak pernah benar-benar terancam. Keinginan menggebu sebagian besar masyarakat untuk membubarkan FPI karena kerap kali meresahkan masyarakat dengan dalih nahi munkar ini seolah membentur baja.
Apalagi seiring waktu bergulir persenyawaan FPI dengan politik terus menguat dimulai saat Pilpres 2014 ketika Prabowo yang berkoalisi dengan PKS secara bersama-sama mendukung pasangan Prabowo -Hatta Rajasa, dengan menjual branding politik identitas.
Di sinilah titik awal politik identitas dijual sebagai bagian dari meraih elektabilitas, dan FPI merupakan salah satu pelakunya.
Persenyawaan antara politik dan identitas keagamaan yang diusung PKS, FPI, dan sejumlah organisasi lain mencapai titik didihnya pada kasus "Al Maidah" yang mengirim Ahok ke dalam penjara, dan pada saat bersamaan mengantar pasangan Anies-Sandi ke kursi DKI 1 dan DKI 2.
Di momen inilah FPI dan Rizieq Shihab mencapai puncak kejayaannya hingga 2 bulan lalu. Mereka menjadi ormas yang cukup menakutkan dan untouchable.
Pemerintah benar-benar berhitung jika menghadapi aksi-aksi mereka yang gemar mengatasnamakan segala tindakannya sebagai tindakan umat Islam ini.
Mereka pun kembali menemukan momen politik yakni Pilpres 2019 Â yang mampu membuat ekistensi FPI dan Rizieq Shihab tetap terjaga.
Meskipun saat itu Rizieq tengah dalam pelarian di Arab Saudi, namun ia mampu mengkomando para pendukungnya melalui pesan-pesan berbentuk teks, meme, video, rekaman suara, dan sambungan telepon, tetapi persoalan jarak yang merentang panjang tak bisa merawat intensitas kepemimpinan pada level seperti saat ia masih berada di tengah-tengah umatnya.
Makanya kemudian Rizieq bersikeras untuk bisa kembali ke Indonesia. Akhirnya dengan segala polemik yang mengiringinya ia tiba di Tanah Air pada 11 November 2020.
Namun Rizieq dan FPI tak menyadari bahwa kepulangannya itu menjadi titik awal surutnya eksistensi FPI.
Rentetan kejadian setelah kepulangannya seperti yang kita ketahui bersama dalam pikiran konsipiratif saya seolah sengaja terbangun atau dibangun untuk mengakhiri eksistensi  FPI dan Rizieq Shihab dan kelompok-kelompok Islam politik secara keseluruhan.
Pemerintah Jokowi dan aparat keamanan seperti tengah bermain catur dengan gaya pertahanan Caro Kann ala legenda catur asal Rusia Anatoly Karpov, mereka seolah membiarkan Rizieq dan FPI untuk mengangkangi pertahanannya.
Hingga titik tertentu kemudian menyerang balik dengan langkah-langkah taktis yang tak terduga, sementara FPI sudah terjebak dikepung seluruh perwira yang memang sudah disiapkan sedari awal.
Posisi tawar FPI dan Rizieq setelah terkepung melorot tajam, kedigdayaan mereka terkelupas karena ulah mereka sendiri.
Itulah kehidupan siapa yang menabur dialah yang akan menuai hasilnya, teriakan revolusi akhlak yang digadang-gadang akan menaikkan posisi tawar mereka dalam kancah politik nasional harus kehilangan tajinya, kini terdengar saja tidak  apalagi setelah sang Imam Besar mendekam dibalik jeruji besi.
Ruang dan waktu sepertinya tak lagi berpihak pada mereka, momentum yang tadinya mereka anggap akan ajek memihak mereka kini sirna nyaris tak berbekas.
Teriakan-teriakan mereka kini hanya terdengar sayup-sayup itu pun nyaris tak terdengar lagi.
Apalagi kemudian dengan cerdik Jokowi menutup langkahnya tahun ini dengan melakukan reshuffle kabinet dan menempatkan orang nomor satu di Gerakan Pemuda Ansor Gus Yaqut Chollil Qoummas yang merupakan antitesis dari FPI dan Rizieq Shihab sebagai Menteri Agama, tambah terbataslah gerak mereka.
Efeknya bisa langsung kita rasakan bersama, perayaan hari raya umat Kritiani Natal 2020 berlangsung lebih adem tanpa kegaduhan seperti yang selalu terjadi setiap tahun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Apakah setelah ini FPI akan mampu kembali bangkit, semuanya tergantung pada mereka sendiri, andai mereka berubah menjadi lebih bijak, tak menebar kebencian, lebih toleran, dan mengurangi kadar ingin menang sendiri, mungkin FPI bisa bertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H