Kenapa itu bisa terjadi ya karena pihak yang berseberangan dengan pemerintah lebih suka menggunakan politik identitas sebagai basis ke-oposisi-an nya tersebut.
Istilah -istilah pemerintah membenci ulama, pemerintah tak  berpihak pada umat Islam dan sejumlah istilah yang sepertinya menggambarkan bahwa pemerintah itu menindas umat Islam menjadi jualan yang laris manis tanjung kimpul, yang membuat massa berkumpul.
Padahal faktanya kan 180 derajat berbeda dengan narasi yang kelompok-kelompok ini bangun, pertanyaannya, Â umat Islam yang mana yang ditindas pemerintah?Â
Bagaimana mau menindas wong Presidennya saja beragama Islam, Wakil Presiden nya seorang Ulama besar dan mayoritas penduduk Indonesia 87 persen nya adalah muslim.
Jadi yang mau ditindas itu Islam yang mana? Sedikit-sedikit Islam harus dibela, mulai dari Tuhannya, Kitab sucinya hingga nabinya, seringkih itu kah Islam?
Inilah bahayanya politik identitas dengan menggunakan agama sebagai landasan identitasnya. Saya sangat setuju dengan ungkapan yang diucapkan oleh Menteri Agama yang baru dilantik, Gus Yaqut
"Agama itu bukan untuk aspirasi, tapi inspirasi dalam berpolitik"
Ini lah yang akan membuat demokrasi bakal beranjak menuju sempurna. Jadi tak perlu ada lagi kejadian rival dalam pemilihan presiden kemudian bergabung menjadi anggota kabinet.
Demokrasi akan terbangun secara sehat apabila semua turut serta membantu membangunnya, sudahilah politik identitas ganti lah dengan politik gagasan dan ide-ide.
Selain alasan untuk mengurangi tensi polarisasi akibat politik identitas, bergabungnya kedua rival itu  ke dalam satu keranjang yang sama karena gagasan dan ide nya dalam membangun Indonesia tak jauh berbeda alias itu-itu juga.
Agak berbeda misalnya dengan  dua Partai besar di Amerika Serikat Demokrat dan Republik, tegas dan jelas gagasan dan ide nya itu berbeda meskipun tujuan akhirnya serupa membawa bangsa mereka maju dan sejahtera.