Pomeo tak ada satu pun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bisa menyenangkan  semua pihak sepertinya benar adanya.
Untuk masalah Vaksin Covid-19 contohnya, ketika vaksin Covid-19 produksi perusahaan bioteknologi asal China Sinovac tiba di Indonesia pemerintah kemudian menyebutkan bahwa skema pemberian vaksin ada yang diberikan gratis tapi ada juga yang bersifat mandiri alias berbayar.
Dari 107 juta orang Indonesia dengan rentang usia antara 18 hingga 56 tahun, yang gratis hanya diberikan bagi 32 juta orang diantaranya, sisanya 75 juta orang harus membayar.
Begitu pengumuman itu dirilis pemerintah, riuh rendah kemudian terjadi  mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Epidemolog, tenaga kesehatan, masyarakat sipil, hingga warganet ramai memprotes, menyayangkan hingga menghujat pemerintah atas keputusan tersebut.
Anggota DPR dari Fraksi PKS Â Netty Prasetyani menuntut transparansi pemerintah dalam menentukan harga yang nantinya akan ditetapkan.
" Pemerintah harus secara jelas, clear, dan transparan kepada publik mengapa ada vaksin program dan vaksin mandiri. Ada yang gratis dan ada yang berbayar," kata Netty Senin (14/12/20), seperti dilansir Kompas.Com.
Lantas epidemolog asal Universitas Indonesia Pandu Riono menyebut bahwa pemerintah memang berniat berbisnis vaksin jika keputusannya tak menggratiskan vaksinasi Covid-19.
"Vaksinasi Covid-19 memang diniati untuk "diperdagangkan", tidak heran pelaku bisnis kesehatan swasta dapat alokasi besar. Sudah bisa pesan jenis vaksin dengan daftar harga yang bervariasi," tulis Pandu Riono melalui akun Twitter, @drpriono1, seperti dilansir Bisnis.Com, Selasa (15/12/20).
Saya pun termasuk salah satu orang yang meminta vaksinasi Covid-19 harus digratiskan dalam beberapa hari saya menulis 3 artikel yang intinya meminta Pemerintah Jokowi untuk mengratiskan vaksin Covid-19 bagi seluruh penduduk Indonesia tanpa terkecuali.
Belum lagi Netizen, bahkan  banyak pihak tak segan-segan menghujat pemerintah karena awalnya enggan memberikan vaksin gratis lantaran alasan keterbatasam anggaran.
Selain masalah gratis dan berbayar, warga+62 pun mempermasalahkan siapa yang pertama kali harus divaksin.
Abdulah Gymnastiar, atau lebih dikenal dengan AA Gym seorang ustadz asal Bandung, meminta dengan cara yang menurut saya agak menekan dan menyindir Pemerintah agar pejabatnya mau divaksin terlebih dahulu agar kepercayaan masyarakat tumbuh terhadap vaksinasi dan akhirnya mau divaksin.
"Memang bagus vaksin kalau sudah terbukti teruji, supaya masyarakatnya percaya, ya Pak Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, para Menteri, dan para Jenderal yang pemberani itu harus berani divaksin dulu, kalau nanti ingin masyarakat yakin. Nanti barisan kedua mungkin petugas kesehatan," ucap Aa Gym dalam talk show yang disiarkan kanal YouTube BNPB Indonesia, Rabu (16/12/20). Seperti dilansir Detik.com.
Ditengah keriuhan tersebut tiba-tiba Presiden Jokowi mengumumkan bahwa program vaksinasi Covid-19 bagi masyarakat Indonesia gratis seluruh tanpa terkecuali.
"Jadi setelah menerima banyak masukan dari masyarakat dan setelah melakukan kalkulasi ulang, melakukan perhitungan ulang mengenai keuangan negara, dapat saya sampaikan bahwa vaksin Covid-19 untuk masyarakat adalah gratis. Sekali lagi gratis, tidak dikenakan biaya sama sekali," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (16/12/20). Seperti dilansir Kompas.Com.
Selain itu Jokowi pun menegaskan bahwa dirinya akan menjadi orang Indonesia pertama yang divaksin seperti yang diharapkan oleh Aa Gym dan sejumlah pihak lainnya.
Apakah setelah keinginan banyak pihak ini dikabulkan pemerintah, vaksin gratis dan Presiden menjadi orang pertama yang divaksinasi Covid-19 keriuhan terkait vaksin ini berhenti?
Tentu saja tidak, alih-alih bersyukur mereka malah terus mencari celah lain buat diributkan, meskipun tidak semua melakukan itu.
Saya mungkin salah satu orang yang sangat mengapresiasi langkah Jokowi tersebut. Karena memang butuh perhitungan dan keberpihakan kepada masyarakat untuk memutuskannya.
Tapi bagi beberapa pihak sepertinya bukan masalah gratis dan berbayar atau siapa yang pertama atau siapa yang terakhir yang akan divaksinasi, yang paling penting bagi mereka adalah bagaimana caranya mencari celah untuk menyinyiri pemerintahan Jokowi.
Kini isunya bergeser bukan gratis atau berbayar, tapi jenis dan merk vaksin yang akan diberikan. Mereka memang sejak awal sudah menggoreng isu bahwa vaksin Sinovac asal China yang di pesan oleh pemerintah Indonesia ini diragukan efektivitas dan afeksinya.
Mereka tiba-tiba berubah menjadi ahli Virologi, yang sepertinya benar-benar paham seluk beluk vaksin hingga ke dasar-dasarnya.
Mereka membandingkan vaksin asal China ini dengan vaksin-vaksin dari negara lain seperti Pfizer, Astra Zeneca, Moderna hingga vaksin asal China lain Shinoparm.
Padahal menurut ahli epidemologi asal Grifinn University Australia Dicky Budiman  setiap vaksin itu ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Selain itu ada peruntukannya ada vaksin yang memang memiliki rentang usia lebih lebar dari kanak-kanak hingga lanjut usia seperti vaksin Pfizer.
Masih menurut Dicky seperti yang saya saksikan dalam program Sapa IndonesiaPagi Kamis (17/12/20), untuk mendapatkan vaksin Pfizer dan Moderna itu bukan pekerjaan mudah, karena lebih dari 80 persen kapasitas terpasang produksi kedua vaksin itu sudah dipesan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, dan sejumlah negara maju lainnya.
Pilihannya menjadi terbatas bagi Indonesia meskipun dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor H.K.01.07/Menkes/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanan Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19).
Menetapkan 6 jenis vaksin yang akan dipergunakan di Indonesia yaitu PT. Biofarma, Astra Zeneca, Moderna, Sinopharm, Pfizer BioNtech, dan Sinovac Biotech
Dan Vaksin Sinovac yang sepertinya bakal menjadi vaksin pertama yang digunakan oleh Indonesia lantaran memang sudah sejak awal bekerjasama dengan perusahaan vaksin asal Indonesia Biofarma, selain itu secara keamanan sudah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO).
Saya rasa kita tak perlu juga terus menggoreng isu vaksin ini untuk mendiskreditkan salah satu vaksin yang segera akan digunakan di Indonesia tersebut.
Apalagi kemudian mengkampanyekan untuk menolak melakukan vaksinasi yang merupakan program pemerintah.
Jika masalahnya keamanan, afeksi dan efektivitas vaksin Sinovac, Â toh saat ini BPOM RI tengah melakukan assesment, jika BPOM menemukan ada masalah tentu saja assesmentnya tak akan mwloloskan vaksin itu untuk dipergunakan mesti dalam keadaan darurat.
Namun jika BPOM menyatakan sebaliknya, ya berarti aman dan efektifitas serta afeksinya sudah terkalibrasi dengan baik dan siap digunakan.
Tak perlu sotoy apalagi mempengaruhi orang untuk tak mau di vaksinasi. Anda siapapun yang menghalangi atau mengkampanyekan anti vaksinasi bisa saja dijerat hukum lantaran bisa membahayakan keselamatan umum.
Jika memang tak suka sama pemerintah Jokowi, lakukanlah kritik yang proporsional dan rasional jangan urusan kesehatan di goreng untuk kepentingan politik  atau pandangan politik yang sempit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H