Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rizieq Shihab dan Keangkuhan dalam Beragama

6 November 2020   15:01 Diperbarui: 6 November 2020   15:17 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabar kepulangan Rizieq Shihab ke Indonesia pada 10 November 2020 ditanggapi beragam oleh masyarakat Indonesia. 

Para pengikut setianya yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi afiliasinya tentu saja akan bersuka cita dengan kedatangan sang Imam Besar tersebut.

Pemerintah Indonesia dalam kondisi ini hanya bisa mewanti-wanti agar segala acara penyambutan yang dilakukan harus tertib dan mematuhi protokol kesehatan mengingat saat ini tengah dalam masa pandemi Covid-19.

Bagi sebagian masyarakat lain, rasa was-was dengan kembalinya Rizieq Shihab ke Indonesia mulai terasa. Was-was di sini bukan takut sebenarnya tapi khawatir kegaduhan di ruang publik bakal makin menjadi.

Seperti diketahui Rizieq Shihab dan FPI-nya kerap kali bertindak dan berkata dengan kalimat penuh arogansi keagamaan.

Mereka kerap menimbulkan kegaduhan dengan cara yang agresif hanya karena cara pandang beragama orang lain berbeda dengan cara pandang mereka dalam memaknai agama, meskipun itu sesama muslim.

Apalagi jika berhadapan dengan warga non-muslim, mereka tak segan mengkafir-kafirkan pihak lain yang berbeda pandangan dengan mereka.

Terakhir masalah Perancis dengan karikatur satirnya serta sikap Emanuele Macron dalam menyikapi situasinya.

Sudah 2 kali mereka berdemo dan menyatakan memboikot produk-produk negara itu. Dengan bahasa-bahasa yang cukup keras, bak mengobarkan perang.

Pola FPI dalam menyampaikan sesuatu hal itu tak lepas dari bahasa Rizieq Shihab ketika "berdakwah", keras dan kasar penuh retorika kebencian.

Padahal dakwah itu hakikatnya adalah menyeru dan mengajak pada kebaikan, bukan memaksa apalagi menginjak-nginjak dan menjadikan aktivitas dakwah itu sebagai sarana menghina pihak yang tak sehaluan secara verbal.

Dakwah yang baik itu harus seperti air, dinamis, adaptif namun tak pernah kehilangan jati dirinya 

Ingat, idealisme sebuah agama itu selalu berkaitan dengan nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, kerukunan, dan kesetaraan.

Mana bisa nilai-nilai luhur seperti itu disampaikan dengan cara kasar yang kadang tak berperi seperti kerap dilakukan oleh Rizieq Shihab dan FPI-nya.

Idealisme agama yang dipraktekkan dengan penuh arogansi seperti ini bakal merusak nama baik agama itu sendiri.

Agama Islam yang seharusnya menjadi rahmatan lil alamin dengan membawa misi kasih sayang dengan air mata cinta yang penuh kebajikan dan kearifan, penentram batin dan perekat harmoni sosial di tangan mereka justru kemudian dianggap menjadi problem yang mengutak-ngatik misi itu.

Agama yang sangat indah ini kerap kali dipaksa untuk bergerak sesuai pemahamannya sendiri, dengan cara-cara yang terkadang mengangkangi hukum yang ada.

Agama itu seharusnya tampil sebagai "ratu adil" alih-alih menjadi pemicu ketegangan sosial. Ada keangkuhan dalam diri pelaku agama seperti Rizieq Shihab dan FPI-nya.

Mereka terlanjur menganggap dirinya paling benar dan suci dalam beragama. Mereka memaksa ajaran agama yang berasal dari pemahaman skriptualistik dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer yang hasilnya justru malah membawa pada ketegangan sosial.

Hal ini terjadi karena mereka mempertahankan standar kebenaran beragama dalam ukuran mereka sendiri, sesuai dengan tafsiran dan keyakinan yang mereka pahami semata.

Salah satu contoh mutakhir dalam kasus karikatur satir Nabi itu, mereka dalam aksi unjuk rasanya bahkan menganggap sang pemenggal kepala Samuel Paty guru yang menunjukan gambar karikatur itu sebagai pahlawan.

Padahal dengan memberikan simpati apalagi menganggap pelaku kekerasan itu sebagai pahlawan justru akan menjerumuskan agama Islam pada upaya yang mereduksi kesakralan Islam itu sendiri.

Saya tak tahu apakah masa 3 tahun di kota suci Mekah bakal mampu mengubah pola pikir Rizieq Shihab dan caranya menyampaikan sebuah kebenaran beragama yang mengayomi kehidupan sosial umat Islam Indonesia secara keseluruhan.

Arogansi beragama seperti yang selama ini selalu ditunjukannya itu tak akan mampu membawa Islam ke mana-mana, selain makin kehilangan simpati publik.

Dalam Islam ibadah itu tak hanya melulu secara vertikal. Ia harus digenapi dengan ibadah yang bersifat horizontal antar sesama manusia secara sosial.

Dua pertiga isi Kitab Suci Al Quran itu tentang hubungan horizontal antar sesama mahluk ciptaan Allah SWT.

Artinya Allah memerintahkan kita untuk saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia dengan penuh kerendahan hati.

Justru dengan kerendahan hati kita dapat menginsyafi Keagungan Allah Sang Maha Pencipta sekalian alam dan kedhaifan kita manusia yang tak luput dari segala salah dan dosa.

Dan yakinlah semakin umat Islam rendah hati, Agama Islam akan mendapat tempat yang lebih baik di hati siapapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun