Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu AS Tinggal 2 Hari Lagi, Sepertinya Donald Trump Akan Meninggalkan Gedung Putih

1 November 2020   13:26 Diperbarui: 5 November 2020   00:12 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pemilih di Amerika Serikat 2 hari lagi, pada 3 November 2020 akan menentukan pilihannya apakah Donald Trump Jr sang petahana Presiden Negara Paman Sam akan tetap tinggal di Gedung Putih untuk 4 tahun mendatang atau keluar, dan Joe Biden lah yang akan tinggal di Pusat kekuasaan AS ini.

Momen yang sangat menarik untuk disimak, selain karena peran sentral AS sebagai negara adi daya di dunia ini, sosok Trump yang kontroversial merupakan daya tarik lain dari pemilu Presiden AS kali ini.

Sejak mengikuti Pilpres AS 2016 dan kemudian terpilih menjadi Presiden hingga saat berakhir masa jabatan pertamanya tahun 2020 ini, Trump acapkali membuat kisah yang penuh kontroversi dalam kiprahnya sebagai Presiden AS ke-45 dan Presiden AS ke-19 dari Partai Republik.

Dari mulai kisah Cambridge Analytica saat kampanye Pilpres AS 2016, kontroversi keterlibatan Rusia dalam memenangkannya dalam Pilpres saat itu, kemudian setelah menjabat melancarkan perang dagang dengan China, hingga berbagai komentar penuh kontroversi yang ia keluarkan terkait berbagai isu sensitif, membuat Trump banyak tak disukai oleh masyarakat dunia termasuk penduduk AS.

Bahkan, setahun sebelum masa jabatannya berakhir Trump berusaha dimakzulkan oleh Partai Demokrat, namun upaya tersebut gagal dilakukan setelah di tingkat Senat yang di dominasi oleh Republikan sebagian besar Senatornya menolak tuduhan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan obstrutcion of congress.

Trump dengan segala tingkahnya melenggang meneruskan pemerintahannya hingga saat ini dan maju dalam pilpres untuk periodenya yang ke-2.

Pemilik grup usaha The Trump Organization LLC ini maju menjadi calon presiden dari Partai Republik setelah dalam konvensi internal partainya mengalahkan kandidat Republikan lain, William F. Weld.

Sedangkan lawannya dalam Pilpres AS 2020 ini adalah Mantan Wakil Presiden AS di masa Presiden Barrack Obama, Joe Biden.

Biden maju sebagai calon dari Partai Demokrat setelah ia menempati urutan pertama dalam konvensi di internal Demokrat menyingkirkan kandidat kuat lainnya Bernie Sanders ke urutan ke-2.

Dalam Pilpres AS ini Donald Trump Jr akan tetap berpasangan dengan Wapresnya di masa kepemimpinan pertamanya, Mike Pence.

Sementara Joe Biden akan berpasangan dengan seorang wanita berkulit hitam Senator dari California Kemala Harris.

Pemilihan Harris sebagai Wapres menjadikan pasangan ini menarik untuk dicermati, jika terpilih Kemala Harris bakal menjadi wanita pertama di AS yang menduduki jabatan setinggi Wapres, apalagi ia berasal dari ras minoritas di AS.

Hal ini merupakan anti tesis dari Trump yang rasis dan menjunjung tinggi supremasi ras kulit putih. Namun kedua calon Presiden AS ini sepertinya tak mengikuti tren kepemimpin diberbagai negara yang memilih pimpinan berusia muda.

Trump saat ini berusia 74 tahun, sementara Joe Biden 77 tahun.  Usia yang sebenarnya cukup renta untuk memimpin sebuah negara, apalagi seperti AS yang kompleksitas kepemimpinannya cukup rumit.

Tapi mungkin itulah AS, dibutuhkan seorang pemimpin yang sangat matang untuk memimpin negara ini atau jangan-jangan ada obstacle tertentu sehingga yang muda belum mampu berkiprah lebih jauh dalam memimpin negara adi daya ini.

Lantas bagaimana peluang kedua capres ini dalam memenangkan kontestasi politik 4 tahunan ini?

Menurut jajak pendapat nasional di AS seperti yang dilansir oleh BBC.Com saat ini posisi Joe Biden mengungguli  Donald Trump dengan proporsi Biden 52 persen sementara Trump ada di angka 43 persen.

Ada sisa voter sekitar 5 persen yang belum pasti memilih diantara keduanya yang disebut sebagai swing voters.

Namun angka jajak pendapat itu sebenarnya tak bisa dijadikan patokan pasti siapa yang akan terpilih menjadi Presiden.

Tentunya kita masih ingat dalam pilpres 2016 lalu, saat Hillary Clinton lawan Trump dalam pilpres saat itu unggul diberbagai jajak pendapat sejak awal tahun, namun faktanya kemudian, yang terpilih menjadi Presiden adalah Trump.

Meskipun jika dihitung berdasarkan kuantitas suara pemilih, Hillary lebih banyak 3 juta suara dibanding Trump. Tapi ia tetap kalah, karena sistem pemilihan di AS menggunakan electoral college.

Sehingga bukan jaminan juga peraih suara terbanyak akan menjadikan seorang kandidat sebagai presiden. Artinya jajak pendapat ini tak serta merta menjadi alat yang bagus untuk memprediksi hasil pemilu di AS.

Electoral college sendiri menurut beberapa litelatur yang saya baca adalah sebuah lembaga yang khusus dibuat untuk pemilihan presiden di AS dengan anggota yang dipilih oleh masyarakat negara bagian dan bekerja 4 tahun sekali yakni beberapa pekan setelah pelaksanaan pemungutan suara dilangsungkan.

Anggota electoral college ini dicalonkan oleh partai politik di tingkat negara bagian. Biasanya mereka merupakan petinggi partai atau individu yang berafiliasi dengan kandidat presiden yang diusung partainya.

Jadi saat pencoblosan berlangsung, pemilih tidak hanya memilih capres tapi juga memberikan suara bagi para calon anggota electoral college.

Anggota electoral college berjumlah 538 orang, dengan jumlah keterwakilan di setiap negara bagian ditentukan oleh jumlah populasi di negara bagian tersebut.

Negara bagian California memiliki jumlah electoral college terbanyak dengan 55 suara karena merupakan negara bagian dengan jumlah populasi penduduk terbesar.

Sementara negara bagian yang memiliki populasi terkecil seperti Wyoming, Alaska, North Dakota, dan Washington DC hanya akan diwakili oleh 3 electoral college.

Setiap anggota electoral college memiliki satu hak suara, dan seorang kandidat presiden dinyatakan menang manakala raihan electoral college-nya berjumlah 270 suara atau lebih.

Biasanya electoral college ini bersifat winner take it all, misalnya Trump menang 30 berbanding 25 di California maka seluruh raihan electoral college di California yang berjumlah 55 suara akan jatuh ke kubu Trump bukan 30 seperti  suara yang diraih di negara bagian itu.

Hanya ada dua negara bagian yang membagi suara electoral college-nya secara proporsional, yakni Negara Bagian Maine dan Nebraska.

Artinya jika Trump di Maine meraih 10 suara electoral college, angka itulah yang akan dicatat sebagai suaranya bukan seluruh angka electoral college yang diperebutkan seperti di California.

Dua daerah ini lah yang kemudian menjadi ramai diperebutkan karena kerap kali menjadi penentu. Negara bagian ini biasanya disebut "Swing State"

Untuk Pilpres 2020 ini, beberapa pengamat pun menyebutkan bahwa kedua negara bagian tersebut bakal kembali menjadi penentu terpilih kembali atau tidaknya Trump menjadi Potus.

Selain itu ada negara bagian lain yang diperkirakan bakal menjadi penentu seperti Ohio yang dalam jajak pendapat terakhir, angka keduanya sama di posisi 46,2 persen. Oleh sebab itu di Ohio ini,  kedua kandidat memiliki peluang kemenangan yang sama.

Secara tradisional kebanyakan negara bagian sudah terpetakan mana yang akan memilih Trump yang Republikan mana yang akan memilih Biden yang Demokrat.

Menurut jajak pendapat US Center Data yang dirilis 31/10/20, Trump hanya unggul di 2 negara bagian yakni Arizona dan Texas, sementara Biden unggul di 11 negara bagian.

Apakah mungkin Trump membalikan keadaan seperti dalam Pilpres AS 2016 lalu saat dirinya mengalahkan Hillary Clinton.

Rasanya agak sulit, lantaran selisih jajak pendapat terakhir cukup jauh hingga 9 persen, berbeda dengan pilpres periode sebelumnya ketika ia berhadapan dengan Hillary yang selisihnya dalam jajak pendapat sangat tipis.

Selain itu, Biden sepertinya mampu meredam berbagai isu seperti masalah bisnis anaknya di Ukraina yang sempat dipermasalahkan oleh Trump dalam debat Capres beberapa waktu lalu. 

Berbeda dengan Hillary yang disaat akhir menjelang pemilihan diserang skandal e-mail, yang kemudian ramai menjadi perbincangan masyarakat AS.

Diluar berbagai analisa terkait teknis pemilihan, secara fundamental pun rasanya Trump dengan berbagai kontroversinya antara lain dalam penanganan pandemi Covid-19 yang berantakan dan isu rasial  yang melahirkan gerakan Blacklivematters serta berbagai isu krusial lainya 

Dengan kondisi ini, sepertinya kebanyakan masyarakat AS menganggap Trump Administration telah gagal dalam menjalankan tugasnya.

Dan Trump rasanya harus segera berkemas dari Gedung Putih. Setelah pelantikan Biden pada 20 Januari 2021 nanti

Prediksi terkini menyebut peluang Trump untuk memenangi Pilpres 3 November 2020, 2 hari lagi dari hari ini adalah satu berbanding tiga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun