Mereka berpikir saya hati-hati kok, seluruh protokol kesehatan saya taati. Selain itu orang cenderung melihat peer group nya yang aman tak terinfeksi, apalagi saya lebih hati-hati dari mereka.
Kemudian jika dikaitkan dengan economy impact dan ini yang kemungkinannya lebih nyata. Orang akan berpikir "saya dirumah tidak bisa kerja" jika keluar sebenarnya saya bisa saja terkena virus atau bisa juga tak terkena virus.
Ini seperti yang dijelaskan dalam prospect theory, makanya kemudian mereka memutuskan untuk keluar rumah untuk bekerja.
Selain kedua faktor tersebut ada faktor lain yang juga tak kalah berpengaruh, yakni masalah habit atau kebiasaan. Tak dapat dipungkiri manusia adalah mahluk sosial, kasus terpapar baru yang kemudian menambah jumlah kematian mungkin akan membuat orang takut dalam beberapa hari, namun lepas itu yah kembali lagi ke habit lamanya untuk bersosialisasi.
Jadi pada dasarnya menurut Chatib, dalam menangani pandemi Covid 19 pendekatannya harus secara menyeluruh dari segi kesehatan, ekonomi, sosiologi, dan psikologi.
Jadi setiap kebijakan yang lahir dari para pemangku kepentingan bisa berhasil jika mempertimbangkan faktor-faktor tersebut.
Pertanyaannya kemudian, apakah Anies Baswesdan dalam mengambil keputusan memperketat kembali PSBB kali ini sudah mempertimbangkan hal tersebut?
Wallahu A'lam Bish-shawabi, kita tak pernah tahu apa yang terjadi di belakang layar saat keputusan itu diproses untuk kemudian ditetapkan.
Yang tampak ke permukaan hanya koordinasi dan cara komunikasinya yang kurang asyik saja. Mungkin kita lihat saja hasilnya nanti setelah 2 minggu pelaksanaan PSBB ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H