Kemudian ditambah pula, dengan menstigma protagonis bagi yang berpihak pada Kesehatan, dan Antagonis bagi yang berpihak pada ekonomi.
Padahal keduanya merupakan kesatuan erat yang tak dapat dipisahkan seperti keping mata uang. Kesehatan adalah hal utama, tanpanya mana bisa ekonomi berjalan.
Tapi jangan lupa tanpa ekonomi yang berjalan kesehatan pun akan tak terurus. Keduanya harus saling bergandengan agar mampun menebas rantai penyebaran virus corona seri terbaru ini.
Anies Baswedan kemudian mengumumkan kepastian pemberlakuan PSBB pada Minggu (13/09/20) dengan kalimat yang berbeda, mungkin setelah digebuk sana sini akhirnya tata kata yang keluar tak bombastis seperti sebelumnya.
Intinya PSBB yang  Senin hari ini (14/09/20) mulai berjalan itu adalah PSBB yang diperketat dibanding PSBB transisi yang sebelumnya diberlakukan.
Namun, lebih longgar dibanding PSBB pertama 3 bulan lalu, misalnya, mall masih boleh beroperasi dengan tingkat okupansi pengunjung maksimal 50 persen dengan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Perkantoran boleh beroperasi namun hanya 25 persen karyawan yang bekerja dari kantor sesuai aturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB.
Jadi tak ada yang spesial juga sebenarnya dari kebijakan PSBB Anies Baswedan kali ini. Lantas kenapa jadi gaduh sekali?
Apakah kebijakan Anies ini salah? Ya enggak lah. Menururt pandangan saya apa yang dilakukan Anies itu sudah tepat, penambahan kasus positif baru Covid 19 di Jakarta memang sudah sangat mengkhawatirkan sehingga bisa membuat sistem kesehatan kolaps jika dibiarkan.
Mungkin yang harus diperbaiki adalah cara Anies Baswedan berkomunikasi, kemudian hilangkan ego sektoral, dan jangan lupa politisasi kebijakan inilah yang menjadi sumber kegaduhan.
Andai Anies tak dalam posisi dihadap-hadapkan dengan pemerintah pusat mungkin tak akan segaduh ini.