Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebijakan PSBB Jilid 2 di Jakarta, Bakal Menjadi "Bitter Sweet" bagi Perekonomian?

12 September 2020   12:47 Diperbarui: 12 September 2020   16:52 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berakit-rakit dahulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian

Peribahasa yang cukup populer ini sepertinya menjadi rangkaian kalimat yang dianggap pas untuk menggambarkan keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika menetapkan kembali kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat yang pelaksanaannya akan dilakukan Senin 14 September 2020 pekan depan.

Keputusan Gubernur Anies di dasari kondisi termutakhir penyebaran Covid-19 di wilayah ibukota negara ini yang sangat mengkhawatirkan.

Anies menyebutkan bahwa jumlah pasien positif aktif dalam 4 pekan terakhir menunjukan tren kenaikan yang sangat signifikan. Jika tak dilakukan "pengereman" secepat mungkin, fasilitas kesehatan yang ada tak akan mampu lagi menanggungnya.

Mengacu pada keterangan Anies, jika tidak di rem, seluruh ruang isolasi  di Jakarta yang berjumlah 4.035 bakal terisi penuh  pada tanggal 17 September 2020.

Dengan asumsi kecepatan pertumbuhan seperti saat ini maka pada 6 Oktober jumlah pasien aktif akan menjadi 4.807, padahal meskipun dengan ekspansi ruang isolasi dilakukan secara maksimal jumlah ruang tersebut baru bisa dipenuhi pada 8 Oktober.

Artinya pasien positif bakal terlantar karena ruang perawatan isolasi nya tak ada lagi. Belum lagi masalah kesiapan sumberdaya manusia nya, dalam hal ini dokter dan perawat.

Dan ini sesuatu yang sang buruk dan tak boleh terjadi, karena jika terjadi konsekuensinya jumlah kematian akibat Covid-19 akan melonjak, pasalnya pasien postif dengan gejala moderat hingga berat tak akan terlayani oleh fasilitas kesehatan yang ada.

Gambaran buram ini lah yang menjadi pemicu utama kebijakan PSBB jilid 2 ini diberlakukan. Sampai situ tak ada yang salah dengan kebijakan Anies Baswedan ini.

Namun, seperti kita tahu ketika PSBB diberlakukan secara ketat maka seluruh sendi kehidupan terutama hajat ekonomi masyarakat bakal terpukul sangat keras.

Di Kuartal II 2020, saat PSBB pertama diberlakukan perekonomian Indonesia luluh lantak, hingga pertumbuhannya minus 5,32 persen. Terburuk sejak tahun 1998 lalu.

Ketika pada akhir Juni 2020 pemerintah bersepakat untuk membuka kembali perekonomian  dengan melonggarkan PSBB  dan Indonesia masuk ke dalam kenormalan baru, geliat ekonomi mulai terlihat meskipun masih jauh dari kata normal.

Kenormalan baru itu artinya aktivitas ekonomi kembali bergulir tapi dalam menjalankannya harus dalam koridor protokol kesehatan. Memakai masker, rajin mencuci tangan dan menjaga jarak.

Pemerintah daerah dan pusat gencar melakukan sosialisasi yang banyak disingkat sebagai 3M tersebut. Dilalahnya tak semua masyarakat melaksanakannya dengan disiplin, dilain pihak pemerintah pun seperti tergagap-gagap dalam menegakan hukum bagi para pelanggar protokol kesehatan

Kegagapan pemerintah, karena memang aturan hukum terkait pelanggaran ini memang belum jelas. Selain itu pemerintah pun seperti serba salah, hukuman kurungan tak memungkinkan, hukuman denda bakal menjadi beban yang luar biasa bagi masyarakat.

Akhirnya PSBB transisi  di DKI yang merupakan pengejawantahan dari "the new normal"ini hasilnya ya so so saja.  Malah kemudian membuat kondisinya tambah memburuk.

Kunci keberhasilan PSBB itu adalah kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan dan ketegasan pemerintah dalam memastikan masyarakat mematuhi protokol kesehatan.

Tanpa itu, berapa jilid pun kebijakan PSBB diberlakukan hasilnya sudah hampir dapat dipastikan tak akan berhasil dengan baik.

Jika PSBB benar-benar ketat dan tegas dilakukan, dapat dipastikan ekonomi masyarakat akan drop sehingga daya beli kemudian melemah dan ujungnya pertumbuhan ekonomi nasional bakal ambrol.

Apalagi Indonesia kini tengah di tubir jurang resesi, keputusan Anies memberlakukan  kembali PSBB secara ketat bakal mendorong perekonomian Indonesia ke jurang resesi.

Karena di Kuartal II pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam teritori negatif 5,32 persen. Jika di Kuartal III yang tengah dijalani ini perekonomian Indonesia kembali mencatatkan pertumbuhan negatif, secara teknis dan konsep Indonesia sudah berada dalam masa resesi.

Wilayah DKI Jakarta itu menyumbang 18 persen pertumbuhan ekonomi nasional, berarti jika perekonomian Jakarta terganggu maka dampaknya akan terasa secara nasional.

Makanya kemudian sejumlah menteri dalam kabinet Indonesia  Maju mengungkapkan ketidak setujuannya dengan langkah Anies  untuk kembali memberlakukan kebijakan PSBB secara ketat.

Ditambah lagi, Anies memutuskan hal tersebut tampaknya tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan pemerintah pusat, para pengusaha dan wilayah penyangga ibu kota, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi.

Makanya hingga saat tulisan ini dibuat Anies seperti berjalan sendirian, ia baru sibuk berkoordinasi sana sini setelah keputusan itu dibuat.

Karena Pemerintah pusat sebenarnya lebih sreg dengan pendekatan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM), paling tidak itu lah yang diucapkan oleh Presiden Jokowi seperti yang disampaikan oleh Juru bicaranya, Fadjroel Rachman.

Kemudian Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun terkesan seperti menyalahkan Anies ketika bursa saham Indonesia harus kehilangan kapitalisasi pasar hingga Rp. 300 triliun, sehari setelah keputusan PSBB itu diumumkan.

Kepala daerah wilayah-wilayah penyangga Jakarta pun menolak untuk melakukan PSBB ketat ssperti 3 bulan lalu karena mereka memiliki cara sendiri dalam menangani Covid-19.

Bima Arya Walikota Bogor misalnya, ia menyatakan PSBB ketat itu belum tentu menghasilkan penurunan jumlah terpapar virus laknat ini, padahal biaya yang dikeluarkan sangat besar.

Ujaran Bima ini berkaca pada PSBB yang dilakukan secara ketat sebelumnya, hasilnya minimal, efek buruknya maksimal.

Jika pernyataan Bima Arya ini benar adanya, berarti langkah Anies ini salah dong.

Ya tidak juga sebenarnya, hanya cara ia mengkomunikasinya saja yang harus dibenahi. Anies terkesan seperti ingin merasa benar sendiri.

Dalam jangka pendek keputusan Anies ini bisa meruntuhkan perekonomian nasional, beberapa ekonom memperkirakan  pertumbuhan ekonomi negatif tak hanya akan sampai di Kuartal III ini saja tapi akan berlanjut hingga Kuartal IV 2020.

Namun, jika PSBB ini benar-benar dilakukan secara serius  maka dalam jangka panjang akan membuat resesi ekonomi di Indonesia tak berkepanjangan.

Karena recovery ekonomi bisa terjadi jika Covid-19 bisa dikendalikan terlebih dahulu. Jika sudah dikendalikan maka ekonomi akan menyusul membaik dan Indonesia back to the right track.

Tapi ingat hal itu bisa terjadi jika PSBB itu benar-benar dilakukan secara serius, artinya sosialisasinya lebih gencar dan ada penegakan hukumnya.

Jangan lupa pemerintah harus menyiapkan bansos bagi masyarakat terdampak dengan jumlah yang cukup agar mereka bisa mematuhi PSBB.

Jika sampai gagal, masyarakat akan mengalami double impact, ekonomi terpuruk lebih dalam, Covid -19 terus menggila. Bagi Anies, siap-siap saja di hujat dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada Pemda DKI terutama terhadap Gubernur Anies Baswedan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun