Jabatan yang diemban Jaksa Pinangki termasuk dalam grade 8, mendapatkan tunjangan kinerja sebesar Rp. 4.595.150, sementara gaji PNS golongan IV di berikan gaji sebesar antara Rp.3.044.399 hingga paling tinggi Rp. 5.901.200.
Jadi total pendapatan yang di dapat oleh Jaksa Pinangki (dengan menggunakan asumsi tertinggi) Rp.10. 496.350, katakanlah ada pendapatan lain dari pekerjaannya tersebut 100 persen dari jumlah yang didapatkannya dari gaji, pendapatan Pinangki menjadi Rp. 20.982.700.
Berarti dalam setahun ia mendapatkan pendapatan sebesar maksimal Rp.300 juta, dengan asumsi tak ada penghasilan lain diluar pekerjaannya mana mungkin dalam kurun waktu 11 tahun ia mampu menghasilkan kekayaan hingga Rp. 4,7 miliar. Apalagi dengan gaya hidupnya seperti yang ditunjukan lewat akun medsos miliknya mustahil uang gajinya bisa disimpan utuh.
Dalam LHKPN sebelumnya pada tahun 2008 kekayaan Pinangki Rp.2,064 miliar, sedangkan 2019 menjadi Rp, 6,83 miliar naik 227 persen.
Dalam LHKPN terbaru tersebut Pinangki disebutkan memiliki 3 kendaraan roda empat, berupa Nissan Teana (2010), Toyota Alphard (2014) dan Daihatsu Xenia (2013) dengan jumlah total harta bergerak Rp.630 juta, ia pun memiliki harta tak bergerak berupa tanah dan bangunan di Bogor, Jakarta Barat, dan Kota Bogor, senilai Rp. 6 miliar dan uang kas atau setara kas Rp.200 juta.
Jumlah yang luar biasa jika dihitung dari pendapatan dari hasil kerjanya sebagai Jaksa, walaupun sebenarnya tak terlalu mengejutkan juga sih. Karena kalau kita amati banyak penyelenggara negara yang memiliki harta kekayaan melampaui daripada yang dihasilkannya.
Tapi paling tidak dalam konteks Pinangki Sirna Malasari kita sudah tahulah darimana uang yang dihasilkannya.
Terlepas dari hitung-hitungan hartanya, ini menunjukan bahwa hukum masih menjadi komoditas yang sangat menggiurkan, hanya bermodal jabatan dan koneksi miliaran rupiah bisa dengan mudah diraup.
Penangkapan dan penahanan Pinangki ini menambah daftar panjang aparat hukum yang seharusnya melakukan penegakan hukum dalam kasus Djoko Tjandra menjadi pelanggar hukum dan harus menanggung akibatnya.
Seperti diketahui sebelumnya dari pihak Kepolisian Brigjen Pol. Prasetyo Utomo telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemalsuan surat-surat dan dalam pengembangan ke arah gratifikasi kini mendekam di Rutan Bareskrim Mabes Polri.
Kemudian 2 rekannya Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Nugroho Slamet Wibowo harus rela melepas jabatannya karena dianggap melanggar etika Kepolisian, dan kini masih dalam pemeriksaan pihak Propam Kepolisian.