Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Dan Brown, antara Fakta dan Fiksi

8 Agustus 2020   21:29 Diperbarui: 8 Agustus 2020   21:19 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Seorang penulis karya sastra pasti memiliki keinginan untuk menyampaikan buah pikiran, ideologi, dan paham yang diyakininya. Untuk mewakili buah pikirnya tersebut penulis akan menuangkan ke dalam karyanya bisa berupa esai, puisi, atau novel.

Hal ini diyakini bahwa sastra dapat difungsikan sebagai media penyampai pikiran-pikiran penulisnya. Melalui sastra  seorang penulis dapat berkomunikasi dengan pembacanya.

Novel merupakan salah satu media sastra yang dapat melakukan hal tersebut, bahkan novel bisa jadi media sastra yang paling populer dikalangan pembaca.

Pasar novel dari waktu ke waktu seperti tak pernah ada habisnya. Penjualan novel untuk beberapa kasus bisa membuat sang penulis menjadi terkenal dan kaya raya, sebut saja misalnya JK.Rowling, Stephen King, Nora Roberts, Tom Clancy, Agatha Christie dan banyak lagi penulis novel lainnya.

Tema yang diangkat mereka memang beragam begitu pula dengan keberanian mereka dalam mengangkat tema relatif tak jauh berbeda, yang membedakan sekaligus menjadi penentu adalah kemampuan penulis dalam mengeksekusi ide yang mereka miliki melalui penceritaan yang menarik dan apa yang terkandung dalam isi ceritanya.

Beberapa penulis pernah mengangkat tema yang berkaitan dengan agama baik ditinjau dari sisi agama secara ritual peribadatannya atau agama sebagai sebuah dogma yang sangat ditaati oleh sebagian besar manusia.

Salah satu penulis yang melakukan itu adalah Dan Brown, seorang novelis asal Amerika Serikat. Novel yang ditulisnya boleh lah disebut kontroversial karena ia banyak menulis cerita tentang sesuatu yang sensitif terkait agama Katolik.

Bagaimana ia dalam narasinya menceritakan pertentangan antara tokoh-tokoh seperti Yesus dengan Maria Magdalena antara karya fiksinya dengan apa yang diyakini oleh para penganut Katolik.

Tak heran jika kemudian pihak gereja banyak yang merasa keberatan dengan tulisan Dan Brown, dalam bukunya yang sangat terkenal The Da Vinci Code.

Buku inilah yang membuat nama Novelis kelahiran Exeter,New Hampshire AS , 56 tahun lalu ini melejit bak roket.

Novel  The Da Vinci Code dengan tokoh utamanya bernama Robert Langdon ini sempat dicekal oleh banyak negara yang penduduk mayoritasnya beragama Katolik, saking kontroversialnya padahal jika kita bicara fiksi sebenarnya bisa bebas saja bercerita apapun.

Novel yang penuh makna simbolik umat katolik dan berbagai kode-kode anehnya tersebut. Tak terlepas dari ketertarikan Brown pada kode-kode dan sejarah sejak dia kecil.

Dan Brown seperti yang dilansir oleh laman resmi miliknya  danbrown.com , merupakan anak sulung dari 3 bersaudara ini mulai tertarik mempelajari berbagai kode saat kedua orang tuanya selalu memberi hadiah pada saat Natal atau berbagai kesempatan dengan menggunakn kode tertentu

Untuk mendapatkan hadiah tersebut Dan kecil harus memecahkan kode tersebut dari situlah kecintaannya terhadap berbagai bentuk kode tumbuh.

Melanjutkan kecintaan terhadap berbagai kode, Dan remaja kemudian bersekolah dan mendapatkan gelar sarjananya di jurusan matematika  Phillips Exeter Academy kemudian melanjutkan pasca sarjana di jurusan yang sama di Amherst College, meskipun kemudian ia pindah ke jurusan Sejarah di University of Sevilla, Spanyol.

Masa perkuliahan di University of Seville memperkenalkannya kepada rahasia masa lalu dari berbagai hal yang belum pernah diketahuinya. Ia mencintai sejarah, menghabiskan berjam-jam waktu dalam hidupnya tenggelam dalam buku-buku sejarah dunia. 

Fakta-fakta baru yang Ia dapatkan membuka matanya tentang kemungkinan adanya sesuatu yang disembunyikan dibalik sebuah fakta publik. Akhirnya proses tersebut membawanya lebih dalam pada hasrat untuk menguak yang tak terkuakkan. 

Hal ini lah yang kemudian membentuk pola pikir Dan Brown dalam menulis novelnya. Ia tertarik pada pola pikir sejarah yang penuh misteri, maka lahir lah berbagai karya yang bergenre Thriller.

Dan Brown dengan sangat cerdas meramu berbagai isu dalam ceritanya, tak hanya urusan agama, dan berbagai simbol serta bentuk kodenya.

Tetapi juga mengangkat tema tentang ilmu pengetahuan, agen rahasia, dan misteri yang dapat dipecahkan tokohnya dengan menemukan jawaban lewat teka teki yang terhampar dihadapannya.

Bahkan dalam beberapa kesempatan Dan Brown berpikir agak nakal ketika ia menarasikan benturan agama dengan ilmu pengetahuan.

Pengambilan tema yang berani cenderung kontroverisal inilah yang menjadikan tulisannya banyak diminati oleh para pembaca.

Selain itu alur cerita yang dibuat oleh Pria bernama asli Danielle Brown juga cukup unik, ia menggabungkan antara cerita fiksi rekaannya dengan fakta dan sejarah yang memang nyata.

Quora.com
Quora.com
Rangkaian cerita nya menjadi sangat nyata dan benar-benar masuk akal, itulah kehebatan Dan Brown dalam menjahit cerita serial Robert Langdon, mulai dari The Da Vinci Code, The Lost Symbols serta Inferno.

Walaupun sebenarnya pola bercerita seperti ini sudah banyak jenisnya. Biasanya tulisan seperti ini dikategorikan sebagai genre Sci fi.

Menulis cerita seperti ini sungguh sangat tak.mudah, butuh riset dan penelitian yang panjang serta mendalam untuk mengetahui secara jelas fakta-fakta yang terpendam.

Hal itu dilakukan agar cerita fiksi yang sedang dibuatnya tak hanya sekedar bualan belaka.  Semakin baik fakta-fakta itu difiksikan semakin sulit juga bagi pembaca untuk memisahkan antara fiksi dan fakta. Seolah yang terbaca oleh pembaca semuanya merupakan fakta, padahal itu bukan fakta yang nyata tapi hanya sebatas fakta sastra.

Makanya tulisan-tulisan Dan Brown terutama yang berkaitan dengan berbagai simbol dan fakta yang berkaitan dengan agama Kristen Katolik ramai diperbincangkan dan menjadi polemik.

Padahal sekali lagi itu, semua hanya fiksi, fakta yang ada terbatas pada Fakta sastra.

Menurut para pemerhati sastra, karya sastra merupakan tiruan atau memesis dari  peristiwa kehidupan yang nyata dan terjadi sehari-hari.

Maka karya sastra merupakan dokumen yang mencatatkan realitas masa lalu menurut pengamatan, pencermatan, dan interpretasi subjektif dari penulisnya.

Dengan demikian realitas hadir untuk kepentingan interpretasi itu sendiri, termasuk di dalamnya realitas psikologis, filsafat, dan sosial penulisnya.

Itu merupakan sebuah kenyataan dan sebaik baiknya imajinasi yang dimiliki penulis adalah sesuatu yang dipunyai sendiri, seperti pengalaman yang kita alami sendiri dan dituangkan ke dalam berbagai model tulisan.

Nah ketika fakta-fakta dalam dunia nyata yang merupakan bagian dari pengalaman penulis bercampur dalam tulisan sastra, saat itulah fakta di dalamnya disebut sebagai fakta sastra.

Tapi ingat, fakta sastra itu dengan fakta lain, fakta hukum atau fakta agama misalnya, kedua fakta itu bersifat jelas dan mutlak. 

Sementara fakta sastra bersifat nisbi, belum tentu seperti kedua fakta tersebut. Fakta sastra dapat dibuat oleh penulis cerita, sebagaimana yang diinginkannya, sebebas yang penulis mau.

Hal ini juga berkenaan dengan sastra yang juga bebas diinterpretasikan apapun oleh pembaca. Sebenarnya hal ini lah yang kemudian menjadikan tulisan Trilogi The Da Vinci Code Dan Brown menjadi polemik karena setiap pembaca memiliki interpretasi masing-masing termasuk pihak Gereja Katolik.

Padahal sejatinya novel tersebut hanya fiksi dan yang ada di dalamnya hanya fakta sastra saja. 

Novel pertama Dan Brown  yang berjudul Digital Fortress sama sekali tak menyentuh masalah simbol-simbol yang berbau keagamaan namun mengupas kisah tentang pengawasan data pribadi  masyarakat AS yang dilakukan oleh National Security Agency(NSA).

The Da Vinci Code yang kemudian menjadi fenomena merupakan novel nya yang ke-4 setelah Deception Point dan Angels and Demon.

Novel ini langsung menjadi best seller internasional dan diterjemahkan ke dalam 38 bahasa. Novel ini bisa disebut sebagai masterpiece dari Dan Brown.

Tulisan yang mencampurkan sejarah, fiksi, agama, dan ilmu pengetahuan yang tampak sangat akademis membuat pembacanya sempat berpikir, jangan-jangan apa yang ditulis Dan Brown itu merupakan kenyataan yang selama ini tersembunyi?

Hal itu bisa terjadi karena alur cerita yang menyatukan fiksi dan fakta itu blending begitu rupa sehingga kisah perjalanan Robert Langdon dalam memecahkan berbagai kode dan simbol terlihat sangat nyata.

Setelah The Da Vinci Code, kemudian bsrturut turut Dan Brown merilis The Lost Symbols, Inferno, Origin dan yang terakhir buku anak berjudul Wild Symphoni yang akan diterbitkan September 2020 ini.

3 Novel milik Dan Brown, Angel and Demons, The Da Vinci Code dan Inferno telah di adaptasi ke dalam film, Robert Langdon yang merupakan tokoh utama dalam serial novel tersebut secara tetap diperankan oleh Tom Hanks.

Film -film tersebut menjadi box office, pembaca novelnya begitu antusias menyaksikan film-film tersebut.

Para pembaca penasaran ingin mengetahui fakta-fakta yang sepertinya nyata ketika membaca bukunya, akan berlaku sama saat menonton filmnya.

Namun yang jelas fakta sastra boleh saja bersifat horizontal, berbeda dengan fakta hukum dan fakta agama yang bersifat vertikal.

Dengan fakta yang bersifat horizontal maka kedudukan pembaca dan penulis sejajar, keduanya mempunyai hak yang sama untuk menginterpretasikan karya tersebut sebebas-bebasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun