Walaupun menurutnya, teknis pelaksanaan dan besaran pinjaman yang diberikan belum bisa di share ke publik karena masih dalam tahap finalisasi kebijakan oleh Kementerian Keuangan.
Menarik juga upaya pemerintah dalam mendongkrak daya beli masyarakat ini  yang terlihat sangat intens dan all out.
Pemerintah sepertinya memahami benar bahwa melemahnya daya beli masyarakat karena pandemi C-19 menjadi masalah utama dalam perekenomian Indonesia saat ini.
Jika diamati melalui riset sederhana lewat berbagai pemberitaan media,  produsen-produsen barang dan jasa sebenarnya bisa dengan mudah meningkatkan supply barang dan jasa  ketika permintaan memang ada.
Persoalannya permintaan itu tak ada, artimya permasalahan ada di daya beli masyarakat. Hal itu tercermin dari rilis BPS yang menyatakan bahwa sepanjang bulan Juli terjadi deflasi hingga 0,10 akibat penurunan harga komoditas.
Kondisi ini menurut beberapa pengamat ekonomi disebut sebagai penanda awal datangnya resesi. Dengan kondisi ini pemerintah mau tak mau harus mendongkrak daya beli masyarakat.
Pemerintah Jokowi tampak agak panik melihat pertumbuhan ekonomi berada dalam posisi negatif. Serapan anggaran dari berbagai Kementerian dan Lembaga yang tadinya diharapkan mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi, ternyata tak sesuai harapan.
Belanja negara tetap saja jeblok, anggaran yang bisa direalisasikan untuk penanganan pandemi Covid-19 hanya sekitar Rp 141 triliun atau 20 persen dari total anggaran Rp. 695 triliun.
Tak heran Jokowi sebagai Presiden, terus menerus mengeluh dengan kinerja para pembantunya. Di lain pihak rakyat mengeluh kekurangan uang untuk belanja rumah tangga mereka.
Di satu sisi, duitnya banyak tapi tak juga belanja, di sisi lain duit enggak ada tapi kebutuhan untuk belanja mendesak.
Politik anggaran menjadi "Shoulder to Cry on", malangnya anggaran yang sudah disiapkan tak juga mampu digulirkan oleh para Menterinya.