Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada di Tengah Pandemi dan Polemik Dinasti Politik

28 Juli 2020   09:41 Diperbarui: 28 Juli 2020   09:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 akan sangat berbeda suasananya dibandingkan dengan Pilkada atau Pemilu sebelumnya, Pandemi C-19 penyebabnya.

Mulai dari proses pendaftaran peserta Pilkada, kampanye, hingga melakukan pencoblosan akan memakai pola kelaziman baru.

Nantinya mungkin saja kita akan melihat petugas KPPS di setiap TPS menggunakan baju Hazmat, protokol kesehatan akan diterapkan secara ketat. Agar TPS tak menjadi klaster baru penyebaran virus corona.

Di luar itu ya sama saja, esensi demokrasi tetap akan berjalan seperti biasa. Walaupun buat saya demokrasi saat ini sudah seperti kehilangan maknanya.

Menurut Joseph Schumpeter seorang ahli ekonomi dan ilmuwan Politik  Amerika-Austria yang sangat berpengaruh di abad 20. 

Demokrasi menurut definisinya adalah sebuah sistem pergantian kekuasaan secara damai dan berkala karena para peserta pemilu berkompetisi untuk merebut dukungan pemilih. Oleh karena itu, kompetisi merupakan salah satu bagian yang integral dalam sebuah sistem demokrasi.

Dalam konteks Pilkada 2020, kompetisi yang ketat antar kontestan adalah merupakan sesuatu yang sangat diharapkan dalam pemilihan.

Asumsinya, dengan kompetisi yang ketat bakal melahirkan berbagai gagasan kebijakan yang lebih keren untuk satu periode mendatang.

Semakin ketat kompetisi antar peserta Pilkada seharusnya akan makin baik bagi demokrasi itu sendiri.

Pemenang pilkada bakal terus terpacu untuk mempertahankan kinerjanya karena mereka sadar jika kebijakannya kurang baik dan tak berkenan di mata pemilihnya maka ia akan digantikan oleh lawan politiknya di pemilihan berikutnya.

Sementara bagi yang kalah ia akan terus mencari celah dari berbagai kebijakan si pemenang yang akan memunculkan gagasan-gagasan alternatif untuk merebut kuasa dalam pilkada berikutnya.

Mungkin itu merupakan gagasan ideal dari sudut pandang kompetisi dalam sebuah demokrasi prosedural.

Namun fakta ideal  proses demokrasi  dengan ketatnya kompetisi yang diharapkan bakal melahirkan pemimpin yang memiliki gagasan-gagasan cemerlang disikapi dengan cara berbeda oleh para kontestan pilkada.

Mereka lebih senang mencari celah agar bisa berlari dari titik start yang lebih mendekati garis finish dibanding peserta lain.

Caranya bisa melalui kuasa uang, karena memilikinya, maka ia melakukan praktek jual beli suara dengan pemilihnya atau memakai faktor x semacam privilege dari kekuasaan yang sebelumnya telah dipegang oleh kerabatnya atau biasa disebut dinasti politik.

Padahal jika demokrasi itu sangat berkaitan erat dengan kompetisi yang ideal, seharusnya memiliki level of the playing field. 

Barulah kompetisi itu bakal menghasilkan juara sesungguhnya yang bisa melahirkan ide -ide kebijakan yang membawa masyarakat sejahtera secara berkeadilan.

Apakah setiap dinasti politik itu berkorelasi langsung dengan tidak sejahteranya rakyat di wilayah yang dipimpinnya, ya memang tidak juga.

Namun mereka mendistorsi kompetisi yang berkeadilan dalam sebuah proses demokrasi. Diakui atau tidak para pelaku politik dinasti, memperoleh keuntungan lebih dibanding para kompetitornya.

Calon yang berasal dari dinasti politik memiliki keunggulan baik dari sumber daya, jaringan elit politik dan kekuasaan untuk menggiring pemilih.

Hal inilah yang menurut Ernesto Dal Bo ahli ilmu Politik dan ekonomi University of  California at Berkeley AS akan memunculkan kekhawatiran adanya ketidaksetaraan dalam penyebaran kekuatan politik dan mencerminkan ketidaksempurnaan demokrasi.

Bila memang seperti itu politik dinasti itu menjadi salah menurut hukum? Ya pasti tidak. Karena tak ada satu negara pun di dunia ini, secara tegas diatur dalam Undang-Undangnya yang menyebutkan politik yang melibatkan kekerabatan ini salah.

Amerika Serikat saja yang dianggap sebagai mbah nya demokrasi, politik kekerabatan itu terjadi bagaimana keluarga Kennedy, saat John F Kennedy menjadi Presiden AS, saudaranya Robert Kennedy menjadi Jaksa Agung.

Atau keluarga Bush, George Bush Sr menjadi Presiden AS, kemudian sang anak George W Bush Jr menjadi Presiden AS beberapa waktu kemudian bersamaan dengan saudaranya Jeff Bush menjadi Gubernur di salah satu negara bagian AS.

Demikian pula di Indonesia, Keluarga Ratu Atut Chosiyah benar-benar menguasai provinsi Banten, mulai dari anaknya, adiknya, adik tirinya hingga iparnya memimpin kota dan kabupaten di wilayah tersebut.

Lantas salahnya politik kekerabatan itu dimana? Ya itu tadi dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidaksempurnaan demokrasi akibat adanya ketidaksetaraan perlakuan dan kemungkinan adanya conflict of interest, yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi korban.

Pilkada 2020 kali ini memperlihatkan betapa politik kekerabatan itu menguat. Bayangkan keluarga Presiden Jokowi anaknya Gibran Rakabuming Raka maju menjadi Cawalkot Solo dan menantunya Bobby Nasution maju dalam Pilkada Walikota  Medan.

Kemudian Putri dari Wakil Presiden Maaruf Amin, Siti Azzizah juga maju sebagai Cawalkot Tanggerang Selatan, putra dari  Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Hirmawan maju dalam pemilihan Walikota Kediri, tak ketinggalan juga keponakan Menteri Pertahanan Prabowo maju sebagi Cawawalkot Tanggerang Selatan.

Pro dan kontra keikutsertaan mereka menjadi kontestan Pilkada 2020  terus mengemuka di publik. Pihak yang pro menyebutkan bahwa mereka itu tak bisa disebut sebagai dinasti politik karena mereka tak ditunjuk oleh keluarganya, mereka mengikuti prosedur proses dan rakyat pemilih lah yang menentukan.

Artinya apapun hasilnya mereka tak bisa mengintervensi. Sementara pihak yang kontra menyebutkan bahwa ini merupakan oligarki politik yamg bisa menimbulkan preseden buruk bagi demokrasi.

Demokrasi bisa menjadi asimetris, hal itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap dsmokrasi yang kini dipakai sebagai sistem di Indonesia.

Silang kata antara yang pro dan kontra terhadap politik kekerabatan sepertinya tak akan pernah ketemu ujungnya karena sudut pandangnya berbeda, yang pro melihatnya by result, sementara yang kontra angle yang dilihatnya by proses.

Dengan kondisi ini sepertinya saya sudah menyerah berharap terhadap proses politik kekuasaan di Indonesia. Harapan saya bisa melihat situasi politik bisa banyak berubah pada saat Jokowi memerintah, sepertinya sirna.

Saat ini dan mungkin untuk Pilkada dan Pemilu ke depan yang merupakan proses politik kekuasaan, saya lebih baik bergerak  berjalan ketengah artinya saya hanya akan menyaksikan saja proses politik ini berlangsung, tanpa berpartipasi dalam proses demokrasi tersebut, lebih baik memilih jalan ninja sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun