Mungkin itu merupakan gagasan ideal dari sudut pandang kompetisi dalam sebuah demokrasi prosedural.
Namun fakta ideal  proses demokrasi  dengan ketatnya kompetisi yang diharapkan bakal melahirkan pemimpin yang memiliki gagasan-gagasan cemerlang disikapi dengan cara berbeda oleh para kontestan pilkada.
Mereka lebih senang mencari celah agar bisa berlari dari titik start yang lebih mendekati garis finish dibanding peserta lain.
Caranya bisa melalui kuasa uang, karena memilikinya, maka ia melakukan praktek jual beli suara dengan pemilihnya atau memakai faktor x semacam privilege dari kekuasaan yang sebelumnya telah dipegang oleh kerabatnya atau biasa disebut dinasti politik.
Padahal jika demokrasi itu sangat berkaitan erat dengan kompetisi yang ideal, seharusnya memiliki level of the playing field.Â
Barulah kompetisi itu bakal menghasilkan juara sesungguhnya yang bisa melahirkan ide -ide kebijakan yang membawa masyarakat sejahtera secara berkeadilan.
Apakah setiap dinasti politik itu berkorelasi langsung dengan tidak sejahteranya rakyat di wilayah yang dipimpinnya, ya memang tidak juga.
Namun mereka mendistorsi kompetisi yang berkeadilan dalam sebuah proses demokrasi. Diakui atau tidak para pelaku politik dinasti, memperoleh keuntungan lebih dibanding para kompetitornya.
Calon yang berasal dari dinasti politik memiliki keunggulan baik dari sumber daya, jaringan elit politik dan kekuasaan untuk menggiring pemilih.
Hal inilah yang menurut Ernesto Dal Bo ahli ilmu Politik dan ekonomi University of  California at Berkeley AS akan memunculkan kekhawatiran adanya ketidaksetaraan dalam penyebaran kekuatan politik dan mencerminkan ketidaksempurnaan demokrasi.
Bila memang seperti itu politik dinasti itu menjadi salah menurut hukum? Ya pasti tidak. Karena tak ada satu negara pun di dunia ini, secara tegas diatur dalam Undang-Undangnya yang menyebutkan politik yang melibatkan kekerabatan ini salah.