Corona Virus Desease atau Covid 19 telah membuat hampir seluruh sendi kehidupan manusia di dunia ini porak poranda, saat tulisan ini dibuat Kamis (23/07/20) menurut situs Wordometer, secara global terdapat 15.373.614 orang terinfeksi virus asal Wuhan China ini.
Jumlah manusia yang meninggal karenanya tercatat mencapai 630.193 orang. Sementara manusia yang berhasil sembuh dari infeksi virus berukuran 0,25 mikron ini sebanyak 9.349.192.
Sementara di Indonesia, menurut situs resmi penanganan Covid-19, Covid19.go.id, tercatat 91.751 kasus positif terinfeksi virus yang bersifat Zoonosis ini.
Jumlah meninggal mencapai 4.459 orang dan yang berhasil sembuh berjumlah 50.255 pasien. Selain Indonesia ada 200 negara lebih yang saat inu tengah bergulat melawan penyebaran virus corona ini.
Karena virus ini dunia seolah mati suri, lantaran penanganan penyebaran C-19 mengharuskan semua orang dimuka bumi ini mentaati aturan Protokol Kesehatan yang telah digariskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
Menjaga jarak fisik merupakan salah satu hal utama dalam protokol kesehatan tersebut selain menggunakan masker, dan menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sesering mungkin agar mata rantai penyeberan virus ini bisa diputus.
Urusan menjaga jarak ini kemudian diimplementasikan melalui beberapa cara oleh berbagai negara ada yang melakukan Lockdown total atau setengah lockdown dalam istilah Indonesia disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Nah, apapun itu implementasinya pada dasarnya hal ini membuat manusia berhenti bermobilisasi, padahal mobilitas itu merupakan hal yang paling utama untuk menggerakan kehidupan ekonomi dan sosial.
Efek penanganan pandemi C-19 ini menjadikan dunia seolah diselubungi awan hitam. Ekonomi berhenti berputar, secara sosial pun manusia menjadi seolah teralienasi satu sama lain dan itu sangat berat sekali.
Pertumbuhan ekonomi dunia menurut International Monetary Fund (IMF) melambat untuk kemudian terhenti. Kondisi ini sudah terjadi sejak Februari 2020 hingga saat ini.
Seluruh institusi keuangan dunia memprediksi  bahwa ekonomi global bakal terkontraksi sangat dalam, untuk waktu yang tak bisa diramalkan kecuali antivirus Covid 19 berhasil ditemukan.
Tak ada satu pun negara di dunia yang benar-benar siap menghadapi situasi pandemi seperti saat ini. Mereka atau lebih tepatnya kita semua benar-benar gagap menghadapi ekspansi virus yang menyebalkan ini.
Kita semua bingung, mana yang harus ditangani terlebih dahulu sisi kesehatannya kah, yang artinya dapat mematikan kehidupan ekonomi warganya, atau coba menjalankan ekonomi namun dampaknya virus akan menyebar semakin cepat dan meluas.
Idealnya memang  kedua hal tersebut bisa berjalam secara simultan, namun ada prasyarat tertentu agar ekonomi tetap bisa bergerak namun penyebaran virus pun bisa dikurangi.
Prasyarat utama ialah Pemerintahnya  harus memiliki anggaran yang cukup besar untuk penanganan pandemi, dan ini membutuhkan perekonomian negara yang sangat kuat, walaupun tetap saja ada batasan yang dimiliki tiap negara.
Salah satu caranya, pemerintah dengan kekuatan ekonominya tersebut, membayar rakyatnya untuk tetap berada di rumah, seperti yang dilakukan oleh Jepang atau Singapura misalnya.
Hal yang hampir sama terjadi juga di Indonesia, namun tak seperti di Jepang, Pemerimtah Jokowi hanya mampu memberikan bantuan sosial bagi masyarakat miskin yang dianggap paling terdampak krisis penanganan C-19 yang jumlahnya  26 juta jiwa.
Akibatnya masyarkat kelas menengah bawah yang masuk kategori hampir miskin, tanpa bantuan pemerintah menjadi miskin beneran.Â
Kecuali mereka terus bekerja atau berusaha, mereka ini kebanyakan dari sektor informal. Mereka tak punya pilihan, sakit karena terpapar corona atau sakit karena kelaparan.
Hal ini lah yang kemudian membuat pemerintah segera menerapkan kebijakan "new normal", PSBB dilonggarkan agar mereka tetap bisa produktif namun harus tetap berpegang pada protokol kesehatan yang ketat.
Secara teori itu dimungkinkan namun fakta di lapangan tak semudah teori, ada kondisi-kondisi yang secara tak disengaja membuat mereka harus melanggar protokol kesehatan.
Seperti contohnya dalam transportasi umum KRL Jabodetabek, penumpang tetap saja tak bisa menjaga jarak karena kondisi memang tak memungkinkan.
Jadi bagaimana, ya itu tadi pemerintah Jokowi terlihat sangat bingung memilih mana yang prioritas antara ekonomi dan kesehatan. Dimakan bapak mati, tak dimakan ibu yang mati.
Walaupun secara verbal dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi menyebutkan bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat menjadi prioritas utamanya.
Berbagai upaya memang telah dilakukan untuk menyeimbangkan agar keduanya tak rusak sscara fatal. Angka terinfeksi melonjak dan perekonomian tak terkontraksi sangat dalam.
Seperti misalnya dengan menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk bantuan sosial agar daya beli masyarakat masih bisa tetap terjaga sementara mereka tak melakukan aktivitas ekonomi.
Secara makro tindakan pemerintah ini diharapkan dapat menahan laju kontraksi ekonomi Indonesia. Pola belanja pemerintah Indonesia yang Counter Cyclical juga menjadi harapan lain untuk menahan perekonomian Indonesia masuk jurang resesi.
Artinya ketika ekonomi masyarakat melemah pemerintah akan tancap gas melalui belanja Kementerian dan lembaga-lembag negara lainnya serta pemerintah daerah.
Sebaliknya, Jika perekonomian masyarakat sedang kencang belanja pemerintah akan di rem.
Namun pola belanja pemerintah seperti ini pun tak bisa berjalan secara smooth sesuai teori, karena dalam perjalanannya hampir seluruh kementerian dan lembaga hingga Pemda tak mau membelanjakan itu karena birokrasinya terlalu ribet salah-salah di ujungnya bisa masuk penjara.
Mereka bukan tak mau membelanjakan anggaran sebenarnya, tapi mereka takut ada kesalahan yang memiliki konsekuensi hukum.
Karena hal ini lah kemudian Jokowi marah besar dalam sebuah sidang kabinet, yang beritanya sudah kita saksikan bersama.
Sementara itu di sisi kesehatan setelah kelaziman baru ini berlangsung tren kenaikan angka positif terinfeksi C-19 terlihat nyata, di DKI misalnya seminggu terahir ini angkanya terus menunjukan kenaikan, cluster -cluster baru perkantoran mulai terlihat.
Jadi ya mbulet, serba salah dipencet disini, muncul disana, diperketat masalah kesehatan ekonomi merana, di gas ekonominya sisi kesehatannya  menjadi naik tak terkontrol.
Walaupun demikian seperti dilansir Tempo.co mantan Menteri Keuangan sekaligus ekonom yang sangat dihormati Chatib Basri memiliki keyakinan bahwa penanganan aspek kesehatan menjadi kunci bagi pemulihan ekonomi bisa terus berjalan.
"Kalau mau ekonomi kembali, pandemi harus selesai dulu," ujarnya, Rabu(22/07/20) kemarin.
Untuk itulah kemudian menurut Chatib Basri pemerintah harus tetap mengaktifkan jaring pengaman sosial bahkan kalau bisa sih anggarannya dipertebal hingga bisa melapis kelas menengah bawah yang sebetulnya sangat terdampak pandemi ini.
Walaupun aspek ekonomi dibuka seperti saat ini, Â jika pandemi belum berakhir maka perekonomian akan tetap tertatih-tatih pertumbuhannya.
Dengan protokol kesehatan yang baik, maka jumlah orang akan dibatasi kerumunan dicegah. Sementara dalam ekonomi salah satu faktor yang menentukan sebuah usaha akan bisa bertahan atau tidak adalah skala ekonominya.
Menurut  penelitian sederhana dengan melakukan googling berita, rata-rata pengunjung mall atau pusat perbelanjaan atau aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya angkanya dibawah 40 persen, apakah dengan angka tersebut mampu menutupi skala ke-ekonomi-an yang menghasilkan keuntungan?
Karena dalam aktivitas ekonomi terdapat variabel biaya tetap yang harus tetap dibayar terlepas dari berproduksi atau tidak, misalnya sewa gedung, biaya listrik dan lain sebagainya.
Biaya ini akan semakin murah jika volume transaksi atau produksinya bertambah. Artinya jika kita ingin mencapai Break Even Point (BEP) dan selanjutnya menghasilkan keuntungan ada skala ekonomi tertentu untuk mencapainya.
Jika kondisi tetap seperti ini  maka harus ada variabel cost lain yang harus dipotong agar tingkat keekonomian bisa tercapai misalnya melakukan PHK atau merumahkan karyawan.
Makanya tak heran jika kemudian banyak hotel atau restauran  yang melakukan PHK atau merumahkan karyawannya.
Kondisi yang jauh berbeda akan terjadi manakala pandemi ini bisa diakhiri, satu-satunya cara karena ini akibat penanganan virus maka vaksin atau anti virusnya harus segera ditemukan, jika tidak kondisinya ya akan tetap seperti ini.
Syukurlah perkembangan penemuan vaksin Covid-19 sudah memasuki tahap akhir, ada 3 perusahaan yang kini menjadi leading dalam perburuan menemukan vaksin.
Oxford university  Inggris yang bekerjasama dengan perusahaan obat Astra Zaneca  kini tengah memasuki uji klinis tahap 3 artinya selesai tahapan ini dan terbukti memiliki kemampuan memberi imunitas terhadap virus corona dan tak ada efek samping signifikan bagi kesehatan, maka siap untuk diproduksi masal.
Kemudian Moderna yang merupakan konsorsium perusahaan farmasi Amerika Serikat juga sudah dalam tahap yang sama.
Dan terakhir ini yang paling menggembirakan masyarakat Indonesia, Sinovac sebuah perusahaan farmasi asal China telah mengumumkan bahwa uji klinis tahap I dan tahap II Â sudah berhasil dengan memuaskan.
Kini untuk pengembangan berikutnya Sinovac menggandeng PT Biofarma, perusahaan  bioteknologi pelat merah milik Indonesia untuk uji klinis tahap III dan nantinya bisa diproduksi masal oleh Bio Farma, dan vaksin corona tersebut kini sudah ada di Indonesia.
Uji klinis tahap III akan memakan waktu selama 6 bulan, direncanakan akan dimulai bulan Agustus 2020 ini , ya bulan depan.
Bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, uji klinis bakal dilakukan oleh 1632 relawan dengan rentang usia 18 - 59 tahun.
Jika semuanya berjalan sesuai rencana, diperkirakan kuartal pertama 2021 vaksin ini  siap diproduksi masal setelah BPOM  melakukan penelitian dan mengeluarkan ijin maka  Bio Farma siap memproduksi hingga 100 juta vaksin pertahun.
Menurut ahli virologi, Indonesia membutuhkan vaksin paling tidak 70 hingga 80 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau berkisar antara 170 hingga 200 juta dosis vaksin x 2 artinya butuh vaksin paling tidak 340 juta dosis vaksin.
Menurut Menteri Riset dan Teknologi  Banbang Brodjonegoro seperti yang dilansir Kompas.com dibutuhkan paling tidak Rp. 26,4  triliun untuk memproduksi secara masal vaksin  Covid-19 tersebut.
Kabar baik ini, seperti light at the end of the tunnel, ada harapan terbentang di ujung jalan semoga ini menjadi jembatan emas bagi pemulihan kesehatan yang menuju bergeraknya kembali perekonomian Indonesia dan akhirnya masyarakat Indonesia menjadi  sejahtera dan sehat.
Namun sambil menunggu vaksin itu sampai ke tangan kita, protokol kesehatan harus tetap dipatuhi secara baik oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H