Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saya Kecewa, Tapi Tak Menyesal Memilih Jokowi

18 Juli 2020   10:35 Diperbarui: 18 Juli 2020   11:57 2545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak sekali kekecewaan saya terhadap kepemimpinan Jokowi di periodenya yang ke-2 ini. Mungkin ekspektasi saya saja yang terlalu tinggi saat memilih kembali Jokowi sebagai Presiden Indonesia untuk kali kedua.

Dalam bayangan saya saat itu, di periodenya yang ke-II Jokowi akan lebih baik, dalam periode pertamanya saja Jokowi berhasil mewujudkan pembangunan infrastruktur yang sangat masif, salah satunya jalan tol dan jalan arteri dibangun dimana-mana.

Environment birokrat pun terasa berbeda, ada sesuatu yang lebih baik di bawah kepemimpinan Jokowi, paling tidak itu lah yang saya saksikan. Kemudian secara pribadi gesturnya yang penuh ketulusan dan jujur membuat saya sangat yakin bahwa pilihan saya saat itu sangat tepat.

Apalagi kemudian dalam banyak kesempatan Jokowi kerap kali mengungkapkan bahwa di periode ke-2 nya tak memiliki beban lagi karena dirinya menurut Undang-Undang Dasar (UUD) 45 Amandemen sudah tak diperbolehkan lagi mencalonkan diri menjadi Presiden pada Pilpres 2024.

Salah satunya saat berbicata di hadapan para aktivis 98 di Jakarta tahun 2019 lalu.

 "Saya dalam 5 tahun ke depan insyaallah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi saya tidak memiliki beban apa-apa," katanya. Seperti dilansir CNBCIndonesia.Com

Awal kekecewaan saya sebenarnya saat ia mencari pendampingnya dalam Pilpres 2019, terlihat jelas beban itu masih ada, kalah oleh Partai Politik pendukungnya. 

"Katanya tanpa beban"

Namun karena alasan pemilihan KH. Maaruf Amin sebagai Cawapres saat itu agar politik Identitas bisa dieliminir, bisa lah masuk akal.

Walaupun saya kurang meyakini efektivitasnya dalam bekerja, dan buktinya sekarang, silahkan nilai sendiri saja kerjanya, Jokowi seperti one man show.

Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 tentang KPK menjadi kekecewaan lain, meskipun gelombang protes sangat keras dari banyak pihak saat itu berdatangan, namun Jokowi tak bergeming.

Sebagian besar masyarakat sangat yakin bahwa UU KPK yang baru tersebut sangat berpotensi melemahkan upaya KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia, buktinya saat ini kita juga bisa lihat sendiri.

Harun Masiku  dalam kasus dugaan suap KPU misalnya hanya karena urusan izin dari Dewan Pengawas seperti yang diharuskan oleh UU KPK baru, lolos dan kabur entah kemana sampai hari ini belum tertangkap.

Padahal selama ini  Jokowi cukup akomodatif terhadap aspirasi masyarakat, namun entah kenapa dalam UU KPK ia sepertinya sangat keras.

Disinyalir ada tekanan dari Partai-partai politik terkait UU KPK yang baru ini, tadinya saya berharap Jokowi memberikan legacy penting dalam pemberantasan korupsi.

"Katanya tanpa beban"

Waktu terus bergulir selepas dilantik  kembali Jokowi menjadi Presiden untuk periode ke-2. Ia memilih para menterinya seolah penuh beban, janjinya yang akan lebih banyak memilih profesional dan teknokrat untuk menduduki jabatan di jajaran kabinet tak terbukti.

Komposisi kabinet ternyata dipenuhi oleh para politisi koalisi yang proses pemilihannya pun sangat politis alih-alih memilih sendiri ia terkesan seperti di dikte oleh partai-partai pendukungnya.

Kesan bahwa susunan kabinet ini adalah kabinet "ucapan terimakasih" tak terhindarkan. Kembali saya harus menelan kekecewaan, walaupun dalam saat bersamaan saya mencoba memahami tanpa dukungan parpol pemerintah Jokowi tak bisa berjalan efektif, namun tak harus seperti itu pula kali.

Buktinya saat pandemi Covid-19 terjadi penanganannya kedodoran, survey Litbang Kompas yang dirilis 13 Juli lalu seperti yang dilansir Kompas.com, 87,8 persen penduduk Indonesia tak puas dengan kinerja menteri dalam Kabinet Indonesia Maju, terutama dalam penanganan pandemi Covid-19.

Terakhir, mungkin ini lebih ke masalah pribadi keluarga Jokowi. Gibran Rakaningbumi putra sulung Jokowi maju menjadi Cawalkot kota Solo dalam Pilkada serentak 2020 saat Jokowi masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Politik dinasti yang di awal Jokowi memerintah sepertinya terlihat hampir mustahil dilakukan oleh mereka, kini menjadi kenyataan.

Andai saja Gibran memenangkan Pilkada dan potensinya sangat besar mengingat hampir seluruh partai menjadi pengusungnya, ini merupakan sejarah bagi Indonesia Presiden dan salah satu kepala daerahnya punya hubungan bapak dan anak.

Secara hukum itu sangat tak salah alias sah-sah saja, karena sebagai anak presiden Gibran memiliki hak politik yang sama untuk dipilih dan memilih, dengan masyarakat  Indonesia yang lain.

Namun seiring begitu banyak privilege yang mereka dapatkan sebagai  presiden  dan keluarganya seharusnya tanggungjawabnya pun menjadi berbeda dengan masyarakat kebanyakan.

Terdapat fatsun politik tak tertulis terkait kepantasan dan kesantunan dalam berpolitik. Selama ini memang politik dinasti kerap terjadi di tingkat daerah, menurut data dari Kemendagri tahun 2015 ada 61 daerah di Indonesia yang terindikasi dikuasai dinasti politik dan kebanyakan berdampak kurang baik terhadap kesejahteraan rakyat.

Menurut  Ernesto Dal Bo Profesor Ekonomi Politik dari University of California at Berkeley Amerika Serikat. Politik dinasti dikhawatirkan memunculkan adanya ketidaksetaraan dalam penyebaran kekuatan politik dan mencerminkan ketidaksempurnaan demokrasi.

Calon yang berasal dari  dinasti politik memiliki keunggulan baik dari sisi sumber daya, jaringan elit politik dan kekuasaan untuk menggiring pemilih.

Apalagi dalam konteks Gibran dan Jokowi, Jokowi adalah Presiden pucuk pimpinan tertinggi yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di republik ini.

Walaupun dikesankan Gibran berjuang sendiri kemudian terlihat berat sekali menghadapi tantangan dari Partanya sendiri  ketika akan meraih tiket Pilkada, tapi mungkin sebagian besar publik sudah meyakini bahwa Gibran lah yang akan diusung pada akhirnya.

Diakui atau tidak, ada peran Jokowi sebagai Presiden Indonesia dalam hal ini, walaupun menurut Jokowi dalam sebuah wawancara dengan BBC. Com Jokowi pernah menolak bahwa langkah politik Gibran itu merupakan upaya membangun dinasti politik.

"Dinasti politik itu kalau kita menunjuk anggota keluarga kita untuk menjabat. Misalnya saya menunjuk anak saya jadi menteri, tapi kalau seorang keluarga, anak, misalnya, mendaftarkan diri, berpartisipasi dalam pilkada, yang menentukan rakyat bukan Jokowi," kata Jokowi. Seperti dilansir BBC.com

Namun pada prakteknya ya agak sulitlah melepaskan hal tersebut, buktinya seperti dilansir Kompas.com Jokowi memanggil  Achmad Purnomo Wakil Walikota Solo sekaligus rival utama Gibran  dalam meraih tiket sebagai calon yang diusung PDIP dalam Pilkada Solo 2020 ini, dan pemanggilan itu berkaitan langsung dengan kontestasi politik anaknya.

Akh entah apa yang terjadi dengan Jokowi, apakah kekuasaan telah merekontruksi ego-nya? Sependek pengetahuan saya tentang Jokowi ia tak seperti itu di awal memimpin Indonesia.

Di periodenya yang ke 2 ini, Jokowi juga terlihat lebih "Presiden" di banding Periode yang pertama, dimana gestur Jokowi saat itu seperti rakyat biasa yang kebetulan saja menjadi Presiden.

Namun rentetan kekecewaan tersebut  tak membuat saya menyesal memilih Jokowi. Jika pendulum waktu diputar ulang pun saya tetap akan memilih Jokowi dibanding Prabowo.

Karena saya yakin Jokowi mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik jika ia bisa lepas dari tekanan politik orang-orang sekitarnya.

Kekecewaan saya ini tak akan bepengaruh pada apapun apalagi terhadap politik nasional karena bobot politiknya mungkin zero, namun saya yakin pendukung Jokowi yang memiliki kekecewaan serupa dengan saya cukup bamyak bisa jadi hingga berjuta.

Saya menyadari juga Jokowi itu jauh dari sempurna dan ia masih manusia biasa, tak mungkin benar terus karena ia bukan malaikat, pun juga tak akan salah terus karena ia bukan setan.

Untuk itu saya akan mendukungnya secara proporsional saja,  salah ya saya akan menulis kritikan terhadapnya, benar ya saya akan menulis pujian terhadapnya.

Mengutip ucapan Staf ahli Menteri Keuangan Yustinus Prastowo  dalam salah cuitan lewat akunnya @prastow di Twitter , 

Kritiklah Pemerintah Sekeras-Kerasnya, Bantu lah Pemerintah Sekuat-Kuatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun