Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Djoko Tjandra Membuktikan Uang Bisa Membeli Kebebasan

16 Juli 2020   12:53 Diperbarui: 16 Juli 2020   13:25 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Djoko Sugiarto Tjandra memang sosok yang fenomenal, bukan fenomenal dalam sisi positif tentunya. 

Ia benar-benar mampu mempraktekan dengan sempurna  bagaimana uang yang ia miliki mampu mengangkangi "hukum".

Jika kita amati dari awal kasus Djoko Tjandra ini memang penuh keanehan atau saya sih lebih suka menyebutnya sangat tricky.

Djoko terlihat sangat licin dalam menghindari jeratan hukum.  Sementara di lain pihak penegak hukum yang menangani kasus Djoko Tjandra seperti kesulitan untuk menghadapi aksi Tricky pemilik bisnis Mulia Grup ini.

Djoko Tjandra alias Tjan Kok Hui alias Joe Chan ini merupakan seorang pebisnis yang merupakan pendiri bisnis Mulia Grup yang memiliki sekitar 49 anak usaha.

Bisnis utama grup bisnis Mulia ini adalah Property namun dalam perjalanannya mulai merambah ke bisnis keramik, metal dan kaca.

Bersama 3 saudaranya, Djoko berhasil membawa Mulia Grup ini menjadi sebuah Konglomerasi perusahaan yang cukup disegani, aset perusahaannya pada tahun 1998 ditaksir mencapai Rp 11,5 triliun, angka yang sangat besar saat itu.

Awal permasalahan membelit Djoko ketika ia bersama Setya Novanto mendirikan sebuah perusahaan bernama PT.Era Giat Prima untuk membeli hak tagih hutang atau Cessie dari Bank Bali milik Rudy Ramli.

Hak tagih Bank Bali ini terjadi setelah Bank yang dulu dikenal dengan Sijempol-nya itu kesulitan menagih piutang yang dimiliki pada tiga bank yakni Bank BDNI, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara.

Padahal ke 3 bank tersebut masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang didirikan untuk mengelola dan menyehatkan perbankan saat krisis moneter 1998 terjadi.

Seharusnya piutang itu bisa segera dicairkan namun entah kenapa tak kunjung dapat dicairkan. Kemudian hak tagih itulah yang di beli oleh PT. EGP milik Djoko.

Perjanjian kerjasama ini ditandatangani oleh Djoko Tjandra, Setya Novanto, dan dari Bank Bali Rudy Ramli selaku Dirut dan Firman Sucahyo selaku salah satu Direktur.

Nilai Cessie yang kemudian bisa dicairkan oleh Djoko Tjandra dkk yang dibayarkan oleh Bank Indonesia dan BPPN jumlahnya Rp.905 miliar.

PT EGP mendapat Rp. 546 miliar sedangkan Bank Bali mendapatkan  Rp. 359 miliar. Dan sebenarnya ini disimpan dalam escrow account milik Bank Bali.

Namun entah bagaiamana Djoko dkk berhasil mencairkan uang tersebut, dan karena disinyalir ada perbuatan melanggar hukum dalam proses pencairannya yang tidak wajar, terlihat dari jumlah fee yang diterima oleh PT EGP,  akhirnya bermasalah dengan hukum.

Sebenarnya bukan hanya Djoko yang jadi tersangka saat itu ada Mantan Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, Pande Lubis Wakil Ketua BPPN, Mantan Menteri BUMN, Tanri Abeng hingga Dirut Bank Bali Rudy Ramli.

Nah dari sekian banyak tersangka akhirnya hanya 3 orang yang diadili, Syahril Sabirin, Pande Lubis dan Djoko Tjandra.

Akhirnya setelah proses hukum dilakukan hingga tingkat MA, Syahril Sabirin di hukum 2 tahun, Pande Lubis di hukum 4 tahun, dan Djoko Tjandra yang sempat di vonis bebas oleh MA namun kemudian upaya hukum PK diajukan oleh Jaksa penuntutnya Antasari Azhar Djoko Tjandra akhirnya di vonis 2 tahun.

Nah dari sinilah kemudian perjalan hidup Djoko sebagai buron dimulai, sehari sebelum eksekusi akan dilakukan Kejaksaan ternyata Djoko Tjandra kabir lewat Bandara Halim Perdanakusumah dengan pesawat carteran ke Port Moresby di Papua Nugini.

Kemudian ia berganti nama menjadi Joe Chan dan memiliki Paspor Papua Nugini, artinya Djoko bukan lagi WNI namun WN Papua Nugini.

Pencarian terus dilakukan oleh aparat hukum Indonesia, ia dimasukan dalam Red Notice-nya Interpol.

Namun entah kenapa sulit sekali menemukan Djokchan ini. Walaupun sebenarnya ia kerap tampil di publik.

Kabarnya ia sempat lama di Malaysia dan beberapa kali bertemu dengan Najib Razak yang saat itu Perdana Menteri Malaysia untuk berbicara ekspansi bisnisnya.

Urusan hukumnya di Indonesia terus di urus oleh pengacaranya, uang Djoko yang memang tidak berseri itu berhasil membuatnya mampu membeli kebebasan dan berbagai Privilege sesuai keinginannya.

Hingga akhirnya kejadian Djoko Tjandra yang tadinya sepi pemberitaan mencuat kembali. Sekali lagi Djoko membuktikan kesaktian uang yang dimilikinya.

Setelah ia masuk kembali ke Indonesia pada Juni 2020 entah dengan menggunakan paspor dari negara mana dan memakai nama siapa.

Pada 8 Juni 2020 Ia membuat KTP di Kelurahan Grogol Jakarta Barat hanya dalam waktu 30 menit saja dan waktu pembuatan KTP-nya pun di luar waktu normal.

Kemudian dalam hari yang sama ia membuat paspor baru dan mendaftarkan kasasinya ke pengadilan, karena ada aturan yang mengharuskan seseorang yang mau mengajukan kasasi harus hadir secara fisik tak bisa diwakilkan.

Jadi kedatangan Djoko datang ke Indonesia ya untuk mengurus perkara hukumnya. Namun yang aneh dalam menjalani seluruh prosesnya tersebut ia bisa lakukan dengan mudah dan santuy saja padahal ia buronan yang dicari-cari negara belasan tahun.

Tak sulit menduga, uang Djoko kembali menunjukan kesaktiannya. Semua prosesnya itu kemudian menjadi ramai dan menunjukan betapa bobroknya birokrasi di Indonesia.

Ternyata tak berhenti sampai disitu, Djoko Tjandra ternyata sudah berhasil menghilangkan namanya dari Red Notice Interpol sebagai buronan sehingga ia bisa bebas saja keluar masuk negara manapun di dunia ini.

Kemudian saat di Indonesia  agar mobilitasnya tak terganggu Djoko dilengkapi dengan Surat Jalan yang diterbitkan oleh Oknum Polisi berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) 

Brigjen Pol Prasetyo Utomo yang merupakan Kabiro Kordinasi dan Perjalanan PPNS Bareskrim  Mabes Polri ternyata hanya mengeluarkan surat jalan itu secara sepihak, artinya surat itu dikeluarkan secara pribadi tanpa kordinasi dengan institusi.

Surat jalan ini sebenarnya hanya dapat digunakan oleh anggota Polri saja. Bukan untuk kebutuhan perjalanan anggota masyarakat sipil seperti Djoko Tjandra, apalagi ia kan buronan.

Saat ini pihak Polri telah menonaktifkan Brigjen Pol Prasetyo dan ditahan selama 14 hari untuk kepemtingan penyelidikan.

Luar biasa bukan, bagaimana lihainya Djoko dalam menggunakan kesaktian uangnya. Meskipun belum jelas benar motivasi sang Jemderal Bintang Satu dan Lurah yang memfasilitasi Djoko Tjandra, namun tutup mata saja kita tau lah ada uang yang bermain di belakangnya.

There is No Free Lunch Everybody.

Berkali-kali aparat hukum di Indonesia dipecundangi Djoko Tjandra, dan yang menyedihkan mereka rela dipecundangi demi "uang".

Integritas yang seharusnya menjadi pegangan utama dalam bekerja menjadi tak ada artinya jika sudah face to face dengan lembaran fulus.

Mungkin hanya sebagian kecil saja birokrat dan aparat hukum yang mentalnya langsung ambrol  dihadapan lembaram uamg.

Tapi ini membuktikan hal itu ada, dan membuktikan uang sejatinya bisa membeli apapun.

I'll buy you a diamond ring, my friend
If it makes you feel all right
I'll get you anything, my friend
If it makes you feel all right
'Cause I don't care too much for money
Money can't buy me ...

Masihkah lagu The Beatles ini relevan jika dikaitkan dengan kondisi saat ini...?

Buktinya sekali lagi,  Djoko Tjandra membuktikan bahwa Uang berhasil membeli kebebasan dan mungkin juga Cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun