Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang jabatan yang sangat menarik untuk diduduki dan diperbincangkan. Jabatan Komisaris secara manajerial merupakan jabatan yang lazim di perusahaan manapun di dunia ini.
Jadi terkait pergantian atau pengisian jabatannya sebenarnya biasa saja, namun khusus di Indonesia jabatan Komisaris di perusahaan milik negara selalu menjadi sumber polemik.
Setelah surat terbuka Adian Napitupulu yang mempertanyakan dasar pengangkatan beberapa Komisaris di berbagai perusahaan pelat merah, kini Lembaga Ombudsman Indonesia kembali mengangkat isu Komisaris BUMN namun dari sisi rangkap jabatan.
Menurut penelusuran yang dilakukan Ombudman ditemukan 367 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merangkap jabatan sebagai Komisaris diberbagai perusahaan BUMN dan 167 lainnya di anak usaha BUMN.Â
Dari 367 Komisaris yang terindikasi rangkap jabatan tersebut, 254 orang berasal dari Kementerian, Lembaga Negara di luar kementerian 112 orang, Perguruan Tinggi 31 orang.
Menurut Ombudsman rangkap jabatan seperti ini berpotensi menabrak Pasal 17 Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
"Kalau rangkap jabatan komisaris BUMN dibiarkan, konflik kepentingan makin besar," Ujar Ahmad Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI.Minggu (28/6/02), seperti dilansir Kontan.co.id.
Bisa jadi yang disebutkan oleh Ombudsman tersebut benar, namun menurut saya jika kita mengacu pada Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Struktur ASN itu terdiri dari 3 jabatan, Jabatan Adminitrasi, fungsional dan Pejabat tinggi.
Hal yang kemudian menjadi perdebatan adalah ASN dengan jabatan apa yang tak diperbolehkan merangkap jabatan seperti yang Ombusdman khawatirkan adanya konflik kepentingan dalam pelayanan publik.
Menurut saya, yang memiliki potensi konflik kepentingan adalah ASN yang menjadi pelaksana pelayanan publik, dalam hal ini jabatan adminitrasi dan jabatan fungsional.Â
Biasanya ASN yang ditunjuk untuk kemudian merangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN adalah pejabat tinggi, mereka dengan jabatan setingkat eselon I atau Direktur Jenderal. Dan saya meyakini sesuai definisi dalam UU 5/2014 tadi bahwa pejabat tinggi dikecualikan untuk melakukan rangkap jabatan.