Saya sebenarnya agak takut juga menulis tentang hal sensitif ini, karena saya tak begitu memahami bagaimana budaya Minang  secara mendalam, secara saya memang bukan terlahir sebagai orang Minang.
Mungkin  Kompasioner seperti Uda Zaldy Chan atau pak Irwan Rinaldi Sikumbang yang lebih pantas menulis hal ini, lantaran sebagai orang Minang mereka memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap budayanya.
Namun saya akan coba menulis dalam prespektif logika manusia dan bangsa Indonesia. Polemik Alkitab berbahasa Minang ini bermula dari keluarnya aplikasi kitab suci agama Nasrani  dalam bahasa Minang di Google Play Store dan Appstore.
Nah aplikasi ini kemudian mendapat sorotan publik terutama dari tokoh-tokoh Minang. Suku Minang yang lahir di wilayah Sumatera bagian Barat ini memang terkenal sangat relijius dalam menganut agama Islam.
Salah seorang tokoh agama Minang yang juga merupakan mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat, Buya Masoed Abidin seperti dilansir situs Pojoksatu.id mengatakan bahwa polemik Alkitab berbahasa Minang ini bisa menimbulkan kegaduhan sentimen SARA.
Ia kemudian menghimbau kepada para pihak yang terlibat agar berhenti meneruskan niat jahatnya, niat jahat?
Ya mungkin saja itu niat jahat, tapi bisa juga tak ada niat jahat itu sama sekali. Mengapa itu disebut sebagai niat jahat? Â Dalam pandangan saya sebagai manusia,toh mereka hanya menterjemahkan Kitab Suci Injil ke dalam sebuah bahasa, dan kebetulan bahasa itu bahasa Minang.
Apa bedanya ketika kita menterjemahkan buku atau kitab suci berbagai agama termasuk Al Quran dan Injil ke dalam bahasa Inggris, Indonesia, China atau ke berbagai bahasa suku-suku di Indonesia seperti Sunda, Jawa, Bali dan berbagai bahasa lainnya.
Apakah selama ini ada aturan khusus yang melarang sebuah kitab suci terlarang untuk diterjemahkan ke dalam bahasa tertentu.
Namun rupanya, menurut Buya Masoed hal ini erat kaitannya dengan filosofi orang Minang "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah".
Filosofi yang melekat erat pada orang Minang ini sudah disepakati tidak diintervensi oleh pihak manapun, terutama oleh pihak-pihak yang berniat mengganggu keutuhan bangsa Minang atau lebih luas lagi keutuhan bangsa Indonesia.
Menurut Buya Masoed kejadian seperti ini pernah terjadi 22 tahun silam. Saat itu dalam kurun waktu 1997-1998 beredar 7.000 eksemplar Injil berbahasa Minang.
Menyikapi hal tersebut kemudian, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama bersama tokoh-tokoh agama Islam dan gereja-gereja di Sumbar di fasilitasi oleh Komandan Korem (Danrem) Â bertemu dan akhirnya Alkitab berbahasa Minang itu ditarik.
Berbeda dengan saat itu, yang mudah saja tinggal menarik saja karena berbentuk cetakan. Sedangkan saat ini melalui aplikasi tertentu yang tak bisa ditarik begitu saja, karena secara teknologi pemerintah tak memiliki kewenangan mutlak terhadap aplikasi yang terpasang di Google Play Store dan Appstore.
Pemerintah hanya bisa meminta kedua platform aplikasi itu segera menutup aplikasi yang dimaksud. Dan itu pun ada syarat-syarat tertentu untuk bisa dituruti oleh kedua platform tersebut.
Selain itu atmosfer sosial dan budaya saat ini berbeda dengan saat itu. Hal itu terbukti ketika Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno menyurati Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johny G.Plate yang isinya meminta Kemenkominfo menghapus aplikasi kitab suci Injil berbahasa Minang.
Kegaduhan tambah menjadi-jadi terutama di media sosial. Bahkan kata Gubernur yang berkaitan dengan surat dari Gubernur Sumbar pada Menkominfo itu menjadi trending topic di plaform medsos Twitter hari ini.
Ditengah isu SARA yang kini tengah melanda dunia sebagian pihak menyebut bahwa ini adalah bukti nyata dari SARA. Dan ini hanya masalah bahasa saja, mengapa harus dilarang-larang.
Seperti yang diungkapkan Dandhy Laksono lewat akun twitternya @Dhandy_LaksonoÂ
"Bahasa Minang bukan milik satu agama. Dia sarana komunikasi antarmanusia. Manusianya bisa beragama apa saja. Bahasa itu sendiri lebih tua dari agama-agama yang kini dianut. Logika sedasar ini, bagian mana yang susah dipahami? "
Mungkin apa yang dicuitkan Dandhy itu ada benarnya, tapi tentu saja masyarakat Minang memiliki prespektif berdasarkan budaya mereka terkait masalah ini.
Pemerintah benar-benar harus bijak menyikapi hal ini, agar kegaduhan dan polemik tidak lebih menjadi -jadi lagi. Dan akhirnya menjadi bahan gorengan beberapa pihak yang tengah menunggu airnya menjadi keruh dan mereka bisa mengambil keuntungan dari air yang tak lagi jernih itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H